PANDANSARI tanpa melati bukanlah Pandansari. Demikianlah ungkapan yang menerangkan betapa sejarah desa di wilayah Kecamatan Ajibarang bagian utara itu tak bisa dilepaskan dari bunga melati dan teh. Namun seiring waktu, wangi hingga kejayaan melati itu semakin pudar.
“Masa kejayaanya itu sekitar tahun 1970-1980an. Dulu kalau sawah ditanami padi malah dipertanyakan. Karena puluhan hektar sawah yang ada di Pandansari ini adalah kebun melati. Dengan menanam melati, setiap hari akan menghasilkan uang,” jelas Amrudin Ma’ruf (63) warga Pandansari.
Berbeda dulu, sekarang lahan perkebunan melati di desa ini bisa dihitung dengan jari. Melati menjadi simbol keharuman sekaligus penghidupan ekonomi warga Pandasari kini makin tersisih. Jika dulu sebagian besar warga menjadi pemilik sekaligus pemetik melati, maka kini hanya segelintir orang saja yang masih mau menanam dan memetik melati.
“Dulu saat radio masih berjaya, ucapan kartu atensi untuk gadis di kebun melati di Pandansari masih lekat dan sering disampaikan, ” katanya ayah dua anak itu. Dulu kata Amrudin, orang membeli beras dengan melati. Ekonomi warga berputarpun karena melati. Tak heran Pandansaripun menjadi wilayah dengan warga penyumbang material bagi pendirian SMP dan MTs Al Hidayah Ajibarang karena melatinya.
“Banyak berkat dan pembelajaran hidup yang bisa diambil dari wangi melati. Kesederhanaan, kepolosa dan kejujuran warga ada di sana. Sayang sekarang banyak yang tinggal kenangan saja,” ujar pria yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Wakil Cabang NU Ajibarang.
Berkat melati sejumlah pedagang desa setempat menjadi saudagar besar higga tuan tanah. Terlebih lagi melati gambir yang berasal dari Pandansari ini sangat terkenal sebagai campuran teh melati untuk pabrik teh wilayah Ajibarang hingga Tegal.
Kinipun di tengah minimnya lahan melati, Pndansari masih mengirimkan melati ke wilayah Tegal, sebagian lagi digunakan untuk campuran teh bagi perajin teh di wilayah Ajibarang khususnya Pandansari dan Ajibarang. “Berkat melati ini sejumlah merek teh lokal mulai dari Teh Kunci hingga Gembong cukup terkenal. Bahkan perusahaan teh besar juga menerima pasokan melati dari wilayah ini.
Namun kini makin sedikit saja kuantitas produksinya,” kata Indri Priyono (35), perajin teh generasi ketiga yang ingin membangkitkan kembali teh melati Pandansari. Tak ada yang menulis secara pasti sejarah melati masuk ke wilayah Ajibarang. Namun dari cerita oral yang berkembang, melati gambir yang cukup wangi menjadi campuran teh ini disebut-sebut berasal dari wilayah Klampok, Banjarnegara.
Sekitar tahun 1960an melati ini mulai ditanam dan berkembang di areal persawahan di kanan kiri jalur Ajibarang Tumiyang. “Jadi di desa sepanjang jalan kabupaten inilah melati ditanam dan berkembang. Mulai dari Pandansari, Karangkelesem, Pasiraman dan Glempang,” kata Indri mengutip cerita para leluhurnya.
Makin Ditinggalkan
Seiring berjalannya waktu, berkat tuntutan lahan padi hingga perumahan serta perubahan cara pikir ekonomi, perkebunan hingga pekerjaan pemetik melati makin ditinggalkan. Di tahun 1980an, urbanisasi makin terjadi. Sementara sejumlah lahan perkebunan melati dialihkan menjadi persawahan dan pemukiman.
“Banyak pula warga yang kemudian hijrah ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga. Karena di sini juga ada makelarnya dulu. Dari situlah warga mengenal uang banyak dan melati makin ditinggalkan,” jelas Ardi (55) warga Pandansari yang menjadi saksi perubahan jaman.
Kini di tengah desakan ekonomi dan kebutuhan lahan perkembangan Kota Ajibarang, pemetik melati tak lagi menjadi gadis lagi. Senyum manis hingga celoteh manja gadis pemetik melati hingga pemasak teh melati hanya terbilang tak ada lagi. Yang ada kini hanya sisa wangi melati bersama pemetiknya yang renta di sejumlah titik sudut Desa Pandansari.
“Sekarang satu kali petik hanya bisa memperoleh dua ons melati saja. Satu ons harganya Rp 5 ribu. Kalau sekarang tinggal beberapa lahan saja, yang lain sudah diganti dengan menjadi sawah dan rumah,” jelas Kasinah
sumber suara merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar