KENTONGAN identik sebagai salah satu kesenian yang melekat pada masyarakat Banyumas. Setiap tahun, parade musik ini menjadi suguhan yang selalu dinantikan. Tapi, tak banyak yang tahu, sentuhan Sutar mampu membuat perubahan pada instrumen alat musik sederhana tersebut.
Di tangan pemuda inilah kentongan menjadi musik yang enak didengar hingga saat ini. Di kediamannya di RT 4 RW 2, Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, pria kelahiran Banyumas 24 November 1979 ini menuturkan, sejatinya kentongan sudah mengakar sejak masa lalu.
Semasa kecil dia pernah mengikuti kakeknya, almarhum Sandarji, tampil pada parade kentongan. “Dulu ya alat musiknya seperti kentongan ronda itu. Di tabuh asal muni (asal bunyi). Kakek cerita, tahun 1975 sudah ada parade kentongan di Banyumas,” ungkapnya.
Rupanya, kenangan itu membuatnya tertarik dengan alat musik tersebut. Hingga suatu ketika, dia mencoba memadukan dengan alat musik calung yang biasa dipakai untuk pementasan lengger. Ternyata, gabungan keduanya menghasilkan nada yang enak didengar.
Banyak Berubah
Sekitar tahun 1997, grup kentongan yang sudah memadukan alat musik semakin banyak. Hingga akhirnya kelompoknya pun ikut serta dalam parade kentongan tingkat kabupaten. “Makin ke sini semakin banyak yang berubah. Dulu larasnya hanya pelog dan slendro.
Tapi sekarang sudah dicampur genjring dan suling. Bahkan mulai masuk instrumen modern seperti ada hi-hat, drum, ember dan jerigen,” ujar bapak tiga anak ini. Sutar menuturkan, pada tahun 2000 dia memutuskan fokus untuk mendirikan bengkel alat musik kentongan sendiri yang diberi nama “Belis Pring”. Rumah produksinya itu pun kerap berpindah tempat karena ketiadaan biaya.
Hingga saat ini, suami Dariah (36) tersebut memilih untuk menekuni pembuatan instrumen kentongan dan calung. Buatannya sudah dikenal hingga ke luar daerah. “Pernah ada pembeli dari Purbalingga. Saya tidak tahu, itu mau dijual lagi. Ternyata di luar daerah yang dikenal ya kentongan buatan Purbalingga, padahal saya yang buat.
Tapi sekarang sudah banyak yang tahu, saya yang membuat kentongan,” tuturnya. Selain Purbalingga, dia mengaku karyanya pernah dikirim hingga Belanda. Peminatnya ratarata adalah seniman yang bermukim di Yogyakarta. Kini, untuk menjaga napas kentongan buatannya, Sutar mengaku harus terus membuat inovasi baru.
Pasalnya, saat ini perajin kentongan jumlahnya semakin banyak. “Harus terus buat inovasi. Sekarang calungnya memakai nada pentatonis. Jadi lebih mudah untuk dimainkan,” katanya.
sumber suara merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar