Bunga-bunga
api kecil melentik ke udara ketika tangan Suing mengusik perapian. Tangan yang
pucat dan bergerak lemah. Tengkuk dan dahi Sying berkeringat. Bukan karena
terik matahari atau panasnya perapian, melainkan keringat dingin hasil
pelepasan kalori terakhir sebelum seseorang jatuh pingsan karena kehabisan
tenaga.
Agak jauh dari perapian, Kimin,
teman Suing, dudk lemas bersandar pada sebuah tonggak. Keduanya merasa begitu
letih setelah lari pontang-panting, menerobos semak dan melintasi tebing-tebing
agar bisa lolosa dari kejarn polisi kehutanan. Pelarian karena deraan rasa
takut sebab para pengejar itu beberapa kali melepaskan tembakan peringatan.
Kini mereka merasa aman bersembunyi
dalam sebuah belukar puyengan. Belukar itu tidak hanya memberi mereka
kelindungan melainkan juga sedikit harapan. Sebatang singkong tumbuh tersembunyi di sana. Tiga gelintir
ubinya kini dalam perapian. Dan sedang dikais-kais oleh Suing.
Tentulah singkong itu belum empuk.
Tetapi tangan Suing terus mengusik perapian untuk mengeluarka isinya. Asap
mengepul bergulung ke atas, kemudian larut dalam udara. Angi yang berhembus
menguapkan keringat dari sekujur tubuh Suing yang kemudian menggigil. Rasa
perih menggigit lambungnya.
Tiga gelintir singkong sudah
dikeluarkan. Suing memukul-mukulkan sebatang kayu untuk mematikan bara api pada
ujung-ujung singkong bakar itu. Membelahnya dengan tangan dan siap
menyuapkannya ke dalam mulut. Tetapi gerakan tangan Suing tertahan karena Kimin
berseru dari belakang.
“Tunggu! Beranikah kau memakan
singkong itu? Aku sudah mencium baunya. Kini aku yakin kita tak bisa
memakannya. Jangan Wing, jangan! Buisa celaka kau nanti.”
Kimin memegangi tangan Suing yang
bersikeras hendak menyuapkan singkong bakar itu. Suing meronta dan terjadi
tarik-menarik. Jemari Suing mengejang sehingga makanan dalam genggamannya
lumat. Kimin menepiskannya kuat-kuat.
“Tenaglah sahabatku. Sesungguhnya
sejak semula aku ragu. Kini aku sudah yakin betul akan singkong yang kita bakar
itu. Jangan gila. Munyuk dan monyet pun tak mau memakannya. Hanya perut celeng
yang mampu bertahanterhadap racun singkong itu, singkong surabanglus. Suing apaun yang terjadi kau tak boleh memakannya!”
Kimin menghentikan kata-katanya
karena melihat wajah Suing berubah menjadi topeng yang pasi. Matanya tak
berkedip. Mulut setengah terbuka dan bibir gemetar. Napasnya pendek-pendek. Dan
wajah topeng itu tak bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya.
Bahwa Suing akhirnya akan jatuh
pingsan sudah dimengerti oleh Kimin. Tubuhnya menggigil, dingin seperti kulit
kodok. Matanya terpejam dan Suing mulai goyah dalam jongkoknya. Suing suren, kehabisan tenaga karena lapar dan
haus. Seteguk air atau sejumput makanan akan mencegah Suing dari kepingsanan.
Tubuh Suing yang begitu lunglai
direbhakan ke tanah. Karena bingung, Kimin hanya berdiri menatap temannya yang
kini tergeletak tanpa daya. Ketika sadar harus berbuat sesuatu, Kimin
membungkuk dan menggoyang tubuh yang terbujur itu.
“Suing, kamu masih kuat berjalan?
Mari kita pulang. Aku akan memapahmu. Jangan takut kepada polisi kehutanan.
Kukira mereka tak mau menangkap siapa pun yang dipapah. Ayo. Ayo, Suing! Kamu
masih mendejngar kata-kataku bukan?”
Bola mata yang pucat itu hanya
bergulir perlahan. Bahkan napas Suing tersengal-sengal, membuat Kimin semakin
tercekam rasa. Laki-laki muda yang bingung itu keluar dari belukar. Lembah dan
lereng yang terhampar di hadapannya tak memberi harapan apa pun. Hanya ribuan
tonggak sonokeling yang mati dan dasar-dasar jurang yang tidak lagi berair.
Ataukah Suing yang harus dibopong sampai ke kampung yang hanya samar-samar jauh
di tepi persi? Boleh jadi orang lain mampu melakukannya. Namun Kimin takkan
sanggup karena tubuhnya yang lebih kecil.
Ah, setidaknya mata Kimin tanpa
sengaja melihat sebatang pohon pisang sebesar lengan di balik semak. Dengan
parang ditebasnya batang pisang itu. Kulit batangnya yang basah dilepas dalam
potonga kecil-kecil lalu dibawanya ke tempat Suing tergeletak. Sepotong di
antaranya terus disuapkan ke mulut temannya.
“Mamah ini supaya kau dapat mengisap
airnya. Ayo, jangan menunggu sampai kau pingsan.”
Mula-mula Suing tetap diam. Namun
rahangnya bekerja rakus begitu dirasakan sesuatu yang dingin menempel dibibirnya.
Potongan pertama cepat lumat. Beberapa tetes air melewati kerongkongan Suing
bersama sejumput serat batang pisang. Selanjutnya, Kimin terus tetap memegangi potongan-potongan
kulit batang pisang itu agar Suing tidak langsung menelannya.
Reka-reka Kimin berhasil membuat
Suing menjadi lebih tenang. Wajah topengnya berangsur hidup. Namun Suing
terjengkang kembali ketika dia berusaha duduk. Kedua tangannya masih gemetar.
“Sabar, sabar. Kau masih lemah.
Seraup kulit batang pisang takkan memberimu cukup tenaga. Dan kau akan tetap
demikian selama perutmu kosong. Maka dengarlah. Aku mau lari ke kampung mencari
air dan makanan untukmu. Kau menunggu di sini. Dan ingat, wanti-wanti kau tidak
boleh menjamah singkong bakar itu. Mengerti?”
Matahari berada di tengah juring
langit bagian barat. Angin yang bertiup membawa bau tanah kering yang tersiram
gerimis pertama. Dan serpih-serpih rumput serta bunga ilalang. Di lembah selatan
terlihat padang rumput yang terbakar, seperti permadani hitam menutup lereng
dan punggung bukit.
Kimin berlari turun. Dirinya menjadi
satu-satunya titik yang bergerak di antara ribuan tonggak-tonggak yang berbaris
mati. Dari jauh kepala Kimin timbul tenggelam di balik semak belukar. Sesekali
dia berhenti buat mengintip keadaan. Betapapun dia masih takut terlihat oleh
polisi kehutanan yang mungkin masih berada di sekitar tempat itu.
Setengah jam lamanya kimin berlari
merunduk-runduk, menempuh kali-kali kecil yang kering, dan sampailah dia ke
kampung terdekat. Di sebuah warung, Kimin menghabiskan seteko air dan empat
buah pisang kapok. Dibelinya juga sebungkus nasi dan sekantong plastik air.
Sebagai pembayarannya Kimin menyerahkan golok, perkakas utama dalam hidupnya
selama ini.
“Kau telah melihat polisi kehutanan
turun dari bukit, Mak?” tanga Kimin kepada pemilik warung.
“Ya. Malah tadi mereka makan-makan
di sini’”
“Jadi, mereka telah kembali ke pos?”
“Hari ini mereka akan tetap
berjaga-jaga hingga malam hari. Akan menangkap dua pencuri kayu yang sempat
meloloskan diri. Demikian kata mereka.”
“Oh!”
“Kenapa? Kaukah pencuri kayu itu?”
“Benar, Mak”
“Kalau demikian mana yang seorang
lagi?”
“Masih di tengah persil. Dia tak
mampu lagi berjalan. Temanku kini sedang suren, Mak.”
“Lah! Jadi, air dan makanan itu
untuk temanmu? Cepat, Nak! Nanti dia mati lemas. Cepat, Nak! Dan kali lain bila
hendak mengambil kayu, jangan lupa membeli karcis.”
“Apakah Mak mengira kami belum
membayar? Tadi pagi kami dimintai uang oleh mandor Dilam. Bangsat dia. Dia
menghilang ketika datang polosi kehutanan.”
“Ya, ya. Aku tidak kaget. Tetapi
temanmu itu, Nak. Ayo, cepat! Bila berjumpa polisi kehutanan, tunjukkan
karcismu.”
“Buset! Sudah lama karccis tak
dijual. Tetapi mandor Dilam tetap meminta uang, dan kami diperbolehkan masuk
persil. Lain mandor Dilam lain pula polisi kehutanan.”
“Ya, ya. Aku tidak kaget. Lah,
temanmu itu Nak!”
Kimin
ingin secepatnya sampai ke tempat Suing. Aneh, setelah perutnya kenyang, Kimin
tak mampu berlari. Air yang memenuhi lambungnya, oplak bila dibawa bergerak
cepat. Hanya karena air dan sebungkus nasi di tangannya, yang mungkin berarti
nyawa Suing, Kimin membungkam rasa nyeri dalam lambung sendir. Ikat pinggang
dikencangkannya dan Kimin berlari mendekati bukit.
Perapian
masih mengepulkan asap ketika Kimin mencapai belukar puyengan itu. Dia menyuruk
ke dalam ingin cepat meyakinkan dirinya bahwa Suing masih hidup. Benar, Suing
belum mati. Bahkan didapatinya Suing dalam keadaan duduk di dekat perapian.
Goyah dan wajahnya kembali menjadi topeng.
Dengan
giginya, Kimin membuat lubang pada sudut kantung plastik itu dan mengucurkannya langsung ke mulut Suing. Mula-mula
Suing tetap diam sehingga air tumpah kembali membasahi dadanya. Tetapi kemudian
dia berubah beringas. Direbutnya kantung air itu, disedot-sedotnya seperti
orang kesetanan. Kimin terpaksa menarik kantung plastik itu, karena Suing terus
memamahnya meskipun air telah habis.
Lega.
Kimin merasa begitu lega. Ditunggunya perubahan pada wajah Suing. Ditunggunya
tanda-tanda kesembuhan pada diri sahabatnya itu. Dan apa yang diharapnya tak
kunjung muncul. Wajah Suing tetap beku dan bergoyang. Dia bahkan tak tanggap
ketika Kimin menyodorkan nasi kepadanya.
Kimin
bangkit, berjalan berputar-putar karena bingung. Dan matanya terbeliak melihat
remah-remah di seputar perapian.
“Astaga!
Suing, kau makan juga surabanglus itu? Kau makan semuanya?” seru Kimin sambil
mengocok pundak temannya.
“Dengar,
Suing! Kau makan jugakah singkong itu?”
Suing
bungkam, bahkan rebah ke tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar