Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas

Senin, 21 September 2015

SURABANGLUS



Bunga-bunga api kecil melentik ke udara ketika tangan Suing mengusik perapian. Tangan yang pucat dan bergerak lemah. Tengkuk dan dahi Sying berkeringat. Bukan karena terik matahari atau panasnya perapian, melainkan keringat dingin hasil pelepasan kalori terakhir sebelum seseorang jatuh pingsan karena kehabisan tenaga.
            Agak jauh dari perapian, Kimin, teman Suing, dudk lemas bersandar pada sebuah tonggak. Keduanya merasa begitu letih setelah lari pontang-panting, menerobos semak dan melintasi tebing-tebing agar bisa lolosa dari kejarn polisi kehutanan. Pelarian karena deraan rasa takut sebab para pengejar itu beberapa kali melepaskan tembakan peringatan.
            Kini mereka merasa aman bersembunyi dalam sebuah belukar puyengan. Belukar itu tidak hanya memberi mereka kelindungan melainkan juga sedikit harapan. Sebatang singkong  tumbuh tersembunyi di sana. Tiga gelintir ubinya kini dalam perapian. Dan sedang dikais-kais oleh Suing.
            Tentulah singkong itu belum empuk. Tetapi tangan Suing terus mengusik perapian untuk mengeluarka isinya. Asap mengepul bergulung ke atas, kemudian larut dalam udara. Angi yang berhembus menguapkan keringat dari sekujur tubuh Suing yang kemudian menggigil. Rasa perih menggigit lambungnya.
            Tiga gelintir singkong sudah dikeluarkan. Suing memukul-mukulkan sebatang kayu untuk mematikan bara api pada ujung-ujung singkong bakar itu. Membelahnya dengan tangan dan siap menyuapkannya ke dalam mulut. Tetapi gerakan tangan Suing tertahan karena Kimin berseru dari belakang.
            “Tunggu! Beranikah kau memakan singkong itu? Aku sudah mencium baunya. Kini aku yakin kita tak bisa memakannya. Jangan Wing, jangan! Buisa celaka kau nanti.”
            Kimin memegangi tangan Suing yang bersikeras hendak menyuapkan singkong bakar itu. Suing meronta dan terjadi tarik-menarik. Jemari Suing mengejang sehingga makanan dalam genggamannya lumat. Kimin menepiskannya kuat-kuat.
            “Tenaglah sahabatku. Sesungguhnya sejak semula aku ragu. Kini aku sudah yakin betul akan singkong yang kita bakar itu. Jangan gila. Munyuk dan monyet pun tak mau memakannya. Hanya perut celeng yang mampu bertahanterhadap racun singkong itu, singkong surabanglus. Suing apaun yang terjadi kau tak boleh memakannya!”
            Kimin menghentikan kata-katanya karena melihat wajah Suing berubah menjadi topeng yang pasi. Matanya tak berkedip. Mulut setengah terbuka dan bibir gemetar. Napasnya pendek-pendek. Dan wajah topeng itu tak bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
            Bahwa Suing akhirnya akan jatuh pingsan sudah dimengerti oleh Kimin. Tubuhnya menggigil, dingin seperti kulit kodok. Matanya terpejam dan Suing mulai goyah dalam jongkoknya. Suing suren, kehabisan tenaga karena lapar dan haus. Seteguk air atau sejumput makanan akan mencegah Suing dari kepingsanan.
            Tubuh Suing yang begitu lunglai direbhakan ke tanah. Karena bingung, Kimin hanya berdiri menatap temannya yang kini tergeletak tanpa daya. Ketika sadar harus berbuat sesuatu, Kimin membungkuk dan menggoyang tubuh yang terbujur itu.
            “Suing, kamu masih kuat berjalan? Mari kita pulang. Aku akan memapahmu. Jangan takut kepada polisi kehutanan. Kukira mereka tak mau menangkap siapa pun yang dipapah. Ayo. Ayo, Suing! Kamu masih mendejngar kata-kataku bukan?”
            Bola mata yang pucat itu hanya bergulir perlahan. Bahkan napas Suing tersengal-sengal, membuat Kimin semakin tercekam rasa. Laki-laki muda yang bingung itu keluar dari belukar. Lembah dan lereng yang terhampar di hadapannya tak memberi harapan apa pun. Hanya ribuan tonggak sonokeling yang mati dan dasar-dasar jurang yang tidak lagi berair. Ataukah Suing yang harus dibopong sampai ke kampung yang hanya samar-samar jauh di tepi persi? Boleh jadi orang lain mampu melakukannya. Namun Kimin takkan sanggup karena tubuhnya yang lebih kecil.
            Ah, setidaknya mata Kimin tanpa sengaja melihat sebatang pohon pisang sebesar lengan di balik semak. Dengan parang ditebasnya batang pisang itu. Kulit batangnya yang basah dilepas dalam potonga kecil-kecil lalu dibawanya ke tempat Suing tergeletak. Sepotong di antaranya terus disuapkan ke mulut temannya.
            “Mamah ini supaya kau dapat mengisap airnya. Ayo, jangan menunggu sampai kau pingsan.”
            Mula-mula Suing tetap diam. Namun rahangnya bekerja rakus begitu dirasakan sesuatu yang dingin menempel dibibirnya. Potongan pertama cepat lumat. Beberapa tetes air melewati kerongkongan Suing bersama sejumput serat batang pisang. Selanjutnya, Kimin terus tetap memegangi potongan-potongan kulit batang pisang itu agar Suing tidak langsung menelannya.
            Reka-reka Kimin berhasil membuat Suing menjadi lebih tenang. Wajah topengnya berangsur hidup. Namun Suing terjengkang kembali ketika dia berusaha duduk. Kedua tangannya masih gemetar.
            “Sabar, sabar. Kau masih lemah. Seraup kulit batang pisang takkan memberimu cukup tenaga. Dan kau akan tetap demikian selama perutmu kosong. Maka dengarlah. Aku mau lari ke kampung mencari air dan makanan untukmu. Kau menunggu di sini. Dan ingat, wanti-wanti kau tidak boleh menjamah singkong bakar itu. Mengerti?”
            Matahari berada di tengah juring langit bagian barat. Angin yang bertiup membawa bau tanah kering yang tersiram gerimis pertama. Dan serpih-serpih rumput serta bunga ilalang. Di lembah selatan terlihat padang rumput yang terbakar, seperti permadani hitam menutup lereng dan punggung bukit.
            Kimin berlari turun. Dirinya menjadi satu-satunya titik yang bergerak di antara ribuan tonggak-tonggak yang berbaris mati. Dari jauh kepala Kimin timbul tenggelam di balik semak belukar. Sesekali dia berhenti buat mengintip keadaan. Betapapun dia masih takut terlihat oleh polisi kehutanan yang mungkin masih berada di sekitar tempat itu.
            Setengah jam lamanya kimin berlari merunduk-runduk, menempuh kali-kali kecil yang kering, dan sampailah dia ke kampung terdekat. Di sebuah warung, Kimin menghabiskan seteko air dan empat buah pisang kapok. Dibelinya juga sebungkus nasi dan sekantong plastik air. Sebagai pembayarannya Kimin menyerahkan golok, perkakas utama dalam hidupnya selama ini.
            “Kau telah melihat polisi kehutanan turun dari bukit, Mak?” tanga Kimin kepada pemilik warung.
            “Ya. Malah tadi mereka makan-makan di sini’”
            “Jadi, mereka telah kembali ke pos?”
              “Hari ini mereka akan tetap berjaga-jaga hingga malam hari. Akan menangkap dua pencuri kayu yang sempat meloloskan diri. Demikian kata mereka.”
              “Oh!”
              “Kenapa? Kaukah pencuri kayu itu?”
              “Benar, Mak”
              “Kalau demikian mana yang seorang lagi?”
              “Masih di tengah persil. Dia tak mampu lagi berjalan. Temanku kini sedang suren, Mak.”
              “Lah! Jadi, air dan makanan itu untuk temanmu? Cepat, Nak! Nanti dia mati lemas. Cepat, Nak! Dan kali lain bila hendak mengambil kayu, jangan lupa membeli karcis.”
              “Apakah Mak mengira kami belum membayar? Tadi pagi kami dimintai uang oleh mandor Dilam. Bangsat dia. Dia menghilang ketika datang polosi kehutanan.”
              “Ya, ya. Aku tidak kaget. Tetapi temanmu itu, Nak. Ayo, cepat! Bila berjumpa polisi kehutanan, tunjukkan karcismu.”
              “Buset! Sudah lama karccis tak dijual. Tetapi mandor Dilam tetap meminta uang, dan kami diperbolehkan masuk persil. Lain mandor Dilam lain pula polisi kehutanan.”
              “Ya, ya. Aku tidak kaget. Lah, temanmu itu Nak!”
            Kimin ingin secepatnya sampai ke tempat Suing. Aneh, setelah perutnya kenyang, Kimin tak mampu berlari. Air yang memenuhi lambungnya, oplak bila dibawa bergerak cepat. Hanya karena air dan sebungkus nasi di tangannya, yang mungkin berarti nyawa Suing, Kimin membungkam rasa nyeri dalam lambung sendir. Ikat pinggang dikencangkannya dan Kimin berlari mendekati bukit.
            Perapian masih mengepulkan asap ketika Kimin mencapai belukar puyengan itu. Dia menyuruk ke dalam ingin cepat meyakinkan dirinya bahwa Suing masih hidup. Benar, Suing belum mati. Bahkan didapatinya Suing dalam keadaan duduk di dekat perapian. Goyah dan wajahnya kembali menjadi topeng.
            Dengan giginya, Kimin membuat lubang pada sudut kantung plastik itu dan  mengucurkannya langsung ke mulut Suing. Mula-mula Suing tetap diam sehingga air tumpah kembali membasahi dadanya. Tetapi kemudian dia berubah beringas. Direbutnya kantung air itu, disedot-sedotnya seperti orang kesetanan. Kimin terpaksa menarik kantung plastik itu, karena Suing terus memamahnya meskipun air telah habis.
            Lega. Kimin merasa begitu lega. Ditunggunya perubahan pada wajah Suing. Ditunggunya tanda-tanda kesembuhan pada diri sahabatnya itu. Dan apa yang diharapnya tak kunjung muncul. Wajah Suing tetap beku dan bergoyang. Dia bahkan tak tanggap ketika Kimin menyodorkan nasi kepadanya.
            Kimin bangkit, berjalan berputar-putar karena bingung. Dan matanya terbeliak melihat remah-remah di seputar perapian.
            “Astaga! Suing, kau makan juga surabanglus itu? Kau makan semuanya?” seru Kimin sambil mengocok pundak temannya.
            “Dengar, Suing! Kau makan jugakah singkong itu?”
            Suing bungkam, bahkan rebah ke tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Info Tentang Blog Banyumas Corner

saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...