Pakar hukum adminsitrasi negara dari Fakultas Hukum Unsoed, Abdul Azis Nasifudin menyatakan, Surat Edaran (SE) Bupati Banyumas No 551.2/2900/2017 tertanggal 10 Juli tentang pelarangan operasional ojek online (sepeda motor) berbasis teknologi informasi, tidak akan efektif.
Bahkan SE tersebut cenderung bisa memicu masalah baru dan malah bisa dijadikan dasar untuk melakukan penertiban. ”Surat edaran itu bukan produk hukum, itu sifatnya hanya himbauan karena berupa edaran yang ditujukan ke internal OPD terkait, sehingga tidak memiliki kekuatan untuk pemberian sanksi,” kata dia, Selasa (11/7).
Menurutnya, SE yang mengatur pelarangan ojek online (sepeda motor) dan membiarkan ojek konvensional (pjek pangkalan), juga bisa dianggap sebagai tindakan diskriminatif dalam pengambilan kebijakan di daerah. Keduanya juga belum diatur secara jelas dalam perundangan terkait angkutan umum. Sehingga jika ada kebijakan pelarangan mestinya berlaku untuk semua jenis usaha atau kegiatan usaha yang mengunakan sepeda motor.
”Karena pelarangannya hanya untuk satu kelompok tertentu, ini juga tidak memenuhi kaedah perundang-undangan. Apakah SE ini bisa digugat seperti ke PTUN, ini tergantung memenuhi kaedah kongkrit individu dan final atau tidak. Kalau ini terpenuhi, bisa saja digugat di jalur tersebut,” kata doktpr hukum lulusan UGM ini.
Setelah mencermati SE tersebut, lebih lanjut dia mengatakan, kebijakan tersebut tidak akan efektif diberlakukan. Justru sebaliknya, besar kemungkinan bisa menimbulkan masalah atau konflik baru, jika SE itu dijadikan dasar untuk penertiban Satpol PP, jajaran dinas perhubungan, camat maupun dari unsur aparat penegak hukum.
Dia menyarankan, SE tersebut lebih baik ditarik kembali atau dicabut, kemudian pemkab lebih konsen menyiapkan payung hukum sesegera mungkin. Setelah SE dicabut, jika ingin menyiapkan payung hukum yang jelas dan kuat, segera menyiapkan kajian akademik sebagai dasar pembuatan perda terkait.
Kewenangan Bupati
”Payung hukum harusnya komprehensif, termasuk prediksi ke depan seperti apa yang dibutuhkan masyarakat sesuai perkembangan moda transportasi,” sarannya.
Terkait salah satu dasar SE itu dianggap sesuai UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana bupati memiliki kewenangan untuk mengunakan kewenangannnya terkait kondisi daerah, menurut Abdul Azis, semestinya dalam SE tersebut dijabarkan secara jelas kewenangan bupati yang seperti apa. Namun dalam SE itu, tidak dijelaskan, hanya ditulis di poin pertama terkait UU tersebut.
”Semua kewenangan bupati memang ada di UU tersebut, seharusnya disebutkan secara rinci kewenangan bupati yang mana untuk menjadi dasar keluarnya SE tersebut. Jadi adanya SE itu hanya bisa dipakai untuk himbauan, bukan pelarangan,” kritiknya.
Dalam SE dua lembar yang ditujukan ke jajaran internal pemkab tersebut, dasar yang dipakai selain UU No 23/2014, yang kedua, mendasarkan Surat Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan No AJ.206/1/1/DRJD/2017 perihal Pengaturan Penyelenggaraan Sepeda Motor.
sumber suara merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar