Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas

Selasa, 26 Januari 2016

Sejarah Banyumas Bagian 1



[Humas Kabupaten Banyumas ]Pendopo Si Panji
Setelah Perang Diponegoro berakhir (1825-1830) daerah Banyumas dan Kedu (Bagelan) terlepas dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dan berada langsung di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Jendral De Kock mengunjungi Banyumas pada bulan November 1831 dan dengan Keputusan Jendral Van Den Bosch tertanggal 18 Desember 1831 dibentuklah Karesidenan Banyumas yang terdiri dari lima Kabupaten, yaitu : Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara, dan Majenang.
Kabupaten Banyumas pada masa itu terdiri dari tiga distrik yaitu : Banyumas, Adirejo, dan Purworejo Klampok. Kabupaten Ajibarang terdiri dari tiga distrik yaitu : Ajibarang, Jambu (sekarang Jatilawang) dan Purwokerto.
Karena bencana angin topan selama 40 hari yang melanda Kabupaten Ajibarang pada tahun 1832, maka ibukota Kabupaten pada tanggal 6 Oktober 1832 dipindahkan ke Desa Paguwon, Distrik Purwokerto.
Bupati Ajibarang pada saat itu adalah Adipati Aryo Mertodirejo II yang dapat disebut juga sebagai Adipati Purwokerto I.
Rumah atau pendopo Kabupaten Banyumas dan Kota Banyumas didirIkan pada tahun 1571 oleh Kyai Adipati Wargautama II yang dapat disebut sebagai Bupati Banyumas I dan dikenal pula dengan sebutan Kyai Adipati Mrapat. Kemudian Adipati Yudonegoro II (Bupati Banyumas VII tahun 1707-1743) memindahkan Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut Pendoponya. Dan yang sekarang terkenal dengan nama SI PANJI.
Banyak cerita yang berhubungan dengan pendopo Si Panji dengan keanehannya. Cerita itu antara lain :
1. Pada tanggal 21 s.d 23 Februari 1861 sebagaimana tersebut dimuka, kota Banyumas dilanda banjir hebat (Blabur Banyumas) karena meluapnya Kali Serayu. Sebagian pengungsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas pendopo "Si Panji". Setelah air bah surut, ternyata pendopo ini tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Bupati Banyumas pada masa itu adalah Raden Adipati Cokronegoro I yang menjabat sejak tahun 1831.

2. Konon ketika pendopo itu akan dibangun, semua sesepuh/tokoh masyarakat Banyumas menyumbangkan calon saka guru pendopo atau bahan bangunan yang lain. Semua Ki Ageng telah memenuhi permintaan Sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehingga ia dipanggil untuk menghadap Sang Adipati akan dimintai keterangannya. Menghadaplah Ki Ageng Somawangi memnuhi panggilan dinas Sang Adipati. Sementara itu pembangunan pendopo sedang dikerjakan. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru pendopo yang ia ciptakan dari tatal dan potongan-potongan kayu yang berserakan di sekitar kompleks pembangunan itu. Hal itu oleh Sang Adipati tidak disambut baik, bahkan sebaliknya itu dianggap suatu sikap pamer atau mendemonstrasikan kebolehannya, akibatnya malahan ia dituduh berniat akan njongkeng kewibawaan sang Adipati. Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng marah, segera meninggalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati merasa sangat tersinggung, segera menyuruh prajurit kabupaten supaya menangkap Ki Ageng yang dianggap ngungkak krama itu. Namun karena kesaktiannya (perlindungan Allah) ia dapat lolos dari bahaya itu. Konon tongkatnya ditancapkan di suatu tempat yang untuk sementara tongkat tersebut berganti wujud persis seperti sosok Ki Ageng. Sementara para prajurit menganiyaya Ki Ageng tiruan, Ki Ageng Somawangi dari jalan raya menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang menjadi Desa Somawangi, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Desa di mana Ki Ageng menerobos untuk menghindari kejaran prajurit Banyumas (rejaning jaman) kemudian diberi nama “Panerusan” yang pernah menjadi desa perdikan berstatus “Kademangan”. Sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Susukan, Purworejo Klampok. Sebagai pembalasan atas sikap Sang Adipati yang dianggap daksinya, Ki Ageng Somawangi memberikan sumpah serapah atau kutuk pastunya kepada trah Banyumas terutama kepada yang menjabat sebagai priyayi yakni barang siapa diantara para keturunan Bupati Banyumas yang datang ke Desa Somawangi dan melewati (menyeberangi) Kali Sidula (sungai kecil yang bermuara di Kali Sapi), ndilalah (kersaning Allah), jabatannya akan lepas atau sekurang-kurangnya turun pangkat. Apa hanya secara kebetulan atau memang ampuhnya kutukan itu, konon sumpah serapah itu benar-benar mempan, sehingga sampai sekarang masih ada orang yang mempercayainya, sekalipun bukan trah Bupati Banyumas. Siapakah Raden Somawangi (Ki Ageng Somawangi) Ia adalah cucu Ki Ageng Penjawi (nama samaran). Ki Ageng Penjawi adalah mantan Bupati Pasantenan (Pai) yang karena konflik dengan Kerajaan Mataram terpaksa hijrah ke wilayah Banyumas yang lazim disebut daerah mancanegara.
3. Cerita lain menyebutkan bahwa salah satu saka guru Pendopo Si Panji (yang dikeramatkan) berasal dari hutan belantara di daerah hulu Kali Serayu Kabupaten Banjar (Banjarwalulembu). Konon hutan itu sangat wingit (Jawa sato mara sato mati jalma mara jalma mati). Kata sehibul hikayat, saka guru yang satu itu cenderung ingin kembali ke asalnya. Namun keinginannya itu tidak mungkin terlaksana. Setelah ada penggabungan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun 1936, atas prakarsa Adipati Aryo Sujiman Gandasubrata (Bupati Banyumas XX), Pendopo Si Panji pada bulan Januari 1937 dipindahkan dari Banyumas ke Purwokerto. Barangkali terpengaruh kepercayaan-kepercayaan tersebut di atas dan untuk menghindari hal-hal (peristiwa gaib) yang tidak diinginkan, maka pemboyongan pendopo Si Panji yang keramat itu tidak melewati Sungai Serayu, tetapi melewati daerah Semarang.
Dikutip dari Buku "Sejarah Banyumas" oleh Drs. S. Adisarwono dan Bambang S. Purwoko, B.A. yang diterbitkan oleh UD Satria Utama Purwokerto, 1992.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Info Tentang Blog Banyumas Corner

saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...