Makanan Masa Lalu yang Kini Disukai Konsumen
Jenang Bumbung Bukit Tranggulasih
: Oleh Gayhul Dhika WPESONA Bukit Tranggulasih sedang menjadi buah bibir di kalangan peminat kegiatan pelesir. Panorama matahari terbit, menjadi suguhan yang sering diburu, bukan itu saja, saat malam hari pemandangan Kota Purwokerto dari ketinggian menjadi suguhan utama bukit yang berlokasi di Desa Windujaya, Kecamatan Kedungbanteng itu. Lukisan keindahan yang ada di bukit tersebut, juga dengan mudah ditemukan di berbagai jejaring sosial, baik melalui hasil bidikan kamera maupun artikel yang ditulis peminat kegiatan pelesir di internet. Namun di samping suguhan panorama, ternyata ada juga kuliner tradisional khas, yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke sana. Seiring nama Bukit Tranggulasih yang menjadi trending topic di kalangan peminat kegiatan pelesir, warga sekitar pun memanfaatkan peluang dengan membuka warung di lokasi sekitar. Warung-warung tersebut menjajakan aneka camilan kemasan, maupun camilan tradisional. Salah satu camilan yang tak boleh dilewatkan adalah kuliner tradisional jenang bumbung. Pedagang sekaligus pembuat, Ahmad Solihin mengatakan, jenang bumbung merupakan salah satu jenis makanan daerahnya. Hal yang membedakan dengan jenang pada umumnya yaitu dipakainya bambu, dalam proses pemasakan.
“Kalau jenang biasa, dimasak menggunakan wajan besar, kalau jenang bumbung, memasaknya di dalam batang bambu,” katanya. Batang Bambu Dia mengatakan, proses memasak menggunakan batang bambu tali. Adonan berupa tepung terigu, gula kelapa, serta parutan kelapa dicampur menjadi satu untuk kemudian dimasukan ke dalam bambu tersebut. Saat memasak bambu dipotong-potong berukuran panjang satu meter. Proses memasak jenang tersebut, menurutnya, memerlukan ketelatenan dan teknik khusus, agar jenang dapat matang sempurna. Pada saat proses memasak, awalnya bambu diposisikan agak miring, dan setelah adonan dirasa sudah matang, dibalik di sisi lainnya. Proses selanjutnya bambung diposisikan horisontal, dan dibakar di atas api. Dia menjelaskan, proses pembakaran juga harus menggunakan bahan khusus. Sedikit berbagi resep, dia mengungkapkan pembakaran jenang tersebut sebaiknya menggunakan daun kelapa yang sudah mengering, atau disebut klari dalam bahasa banyumasan. Api yang dihasilkan dari bahan bakar itu menurutnya yang paling pas untuk memasak jenang bumbung. “Paling tidak memasaknya butuh waktu antara 2 sampai 3 jam, dan harus terus diputar, agar jenang di dalam bambu matang seluruhnya,” ujarnya. Resep membuat jenang bumbung ia pelajari secara turun-temurun dari orang tuanya. Semasa kecil dulu, camilan jenang bumbung ini selalu menjadi suguhan ketika warga menggelar hajatan. “Jajanan ini terbilang sudah cukup jarang ditemui, jadi ketika saya membuka warung di sini (Bukit Tranggulasih), apa salahnya saya juga menjual makanan itu, sekaligus memperkenalkan lagi jenis makanan tradisional itu,” jelasnya. Dalam proses penyajiannya, bambu yang digunakan untuk proses memasak dibersihkan kulitnya terlebih dahulu. Setelah itu, dipotong-potong dengan ukuran panjang sekitar 6 sentimeter. “Ketika akan memakan, bambunya diremas saja sampai pecah,” kata dia. Untuk menikmati camilan dengan rasa manis, dan tekstur kenyal, yang seolah membawa pada kenangan di masa lalu itu pun tak mahal, cukup merogoh kocek Rp 1.500 per batang berukuran 6 cm. Indahnya panorama Bukit Tranggulasih, dipadu dengan manis legitnya jenang bumbung, menjadi perpaduan yang sayang jika dilewatkan..
15 Januari 2016 , Suara Banyumas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar