Sebelum membahas sejak kapan kota Purwokerto dibangun marilah kita
membaca sebuah berita yang sempat heboh tentang rencana pembongkaran
situs makam pendiri Purwokerto di hotel Mulia .
Mbah Purwokarta merupakan salah satu pendiri dan penyebar Agama Islam pertama di Purwokerto.
Merdeka.com
- Galian tanah itu masih terlihat jelas. Bongkahan tanah kering menutup
liang lahat yang terkesan tak rapi itu. Dari lima makam di kawasan itu,
kini terlihat hanya ada dua makam.
"Kami tidak rela makam yang
dikeramatkan ini dibongkar," kata Imam Wahyono (30) salah satu pemuda
Kelurahan Purwokerto Kulon, Banyumas, Kamis (20/9).
Siang itu,
puluhan warga Purwokerto Kulon menggelar aksi penolakan pembongkaran
makam Mbah Purwokarta. Makam yang terletak di belakang Hotel Mulia itu,
dibongkar untuk keperluan perluasan hotel.
Mereka percaya, Mbah
Purwokarta merupakan salah satu pendiri kota yang terkenal dengan
mendoannya itu. Dia dulu merupakan penyebar Agama Islam pertama di
Purwokerto. Letak makam yang berada di sekitar Pasar Wage meneguhkan
penjelasan itu. Pasar Wage sendiri dulunya merupakan pusat perdagangan
Banyumas sebelum era penjajahan Belanda.
Sementara Hotel Mulia,
merupakan hotel yang pertama kali didirikan di Purwokerto. Hotel itu
didirikan tahun 1921 dan hingga kini masih berdiri kokoh.
Untuk
mencapai makam Mbah Purwokarta, peziarah harus melewati halaman depan
Hotel Mulia. Hotel ini dikelilingi pagar sehingga peziarah tak bisa
masuk tanpa seizin pengurus hotel.
Dartum, ketua rukun tetangga
setempat mengatakan, setiap malam Jumat Kliwon dan hari besar agama,
makam tersebut banyak dikunjungi oleh masyarakat baik lokal maupun dari
luar kota. "Sebagai pendiri kota, kami tak ingin jejaknya terhapuskan,"
kata dia.
Dia mengatakan, sebelum pembongkaran, pengurus hotel belum
meminta izin secara resmi ke pengurus RT. Dia sendiri menyayangkan,
pemerintah setempat tak melindungi makam yang sudah ada sejak jaman
Belanda itu.
Kuasa hukum Hotel Mulia, Fadoli mengatakan, dia saat
ini sedang menelusuri ahli waris pemilik makam itu. "Sertifikatnya saja
belum jelas," katanya.
Dia mengatakan, sudah meminta izin
pembongkaran ke RT setempat. Selain itu, rencananya makam tersebut juga
akan dipindah sesuai dengan permintaan warga. "Akan kami buatkan yang
lebih bagus dan sesuai permintaan warga setempat," kata dia.
Lurah
Purwokerto Kulon, Agus Puji Santoso tak banyak berkomentar soal masalah
itu. "Akan kami mediasikan dulu, bagaimana duduk masalah yang
sebenarnya," katanya.
Di sini kita
tahu pendiri kota Purwokerto sekaligus berperan sebagai penyebar
Agama islam di kawasan ini . mendapat julukan Mbah Purwokarta .
Siapa itu Mbah Purwokarta ? ada kesesuaian info antara Kyai kartisara sebagai pendiri Desa
Paguwan dengan istilah Mbah Purwakerta sebagai penyebar Agama
Islam sekaligus mengusulkan nama Purwakerta . Mari Kita telusuri jejak pada tahun
1742 saat terjadi geger pecinan di kraton kartasura .
Ketiga, geger Pacinan, 1742. Buntut penbantaian Tionghoa di Batavia pada 1740. Keraton ditusuk dari belakang oleh Tionghoa yang menganggap Sunan Pakubuwono II (cucu Pakubuwono I) tidak ikut mengecam aksi genosida Tionghoa di Batavia. `Ketika terjadi pemberontakan Cina yang sering discbut geger Pacinan,
banyak pembesar Kraton Kartasura lari meninggalkan kraton. Sebagian lari
ke arah timur. Konon Sunan Pakubuwono termasuk yang lari ke arah timur.
Sebagian lagi lari ke arah barat,
mencari keselamatan masing-masing. Untuk mencari tempat yang aman, para
pengungsi sebagian lari terus ke arah barat. Sekitar dua puluh lima
orang telah sampai di daerah Banyumas. Keadaannya waktu itu masih hutan
rimba. Merasa sudah sampai daerah yang dianggap aman mereka mulai
membabat hutan. Tempat itu dijadikan pekarangan dan ladang serta
perkebunan. Rumah-rumah pun dibuat secara gotong royong untuk tempat
tinggal mereka. Daerah yang tadinya hutan, banyak dihuni binatang liar
dan mahluk-mahluk halus serta menyeramkan, kini menjadi suatu desa yang
aman dan makmur. disamping pertanian, sebagian juga ada yang memiliki
keahlian lain dagang, pertukangan dan ada yang pandai dalam ilmu
kekebalan ataupun ilmu gaib.
Di antara mereka yang dianggap
mempunyai ngelmu bernama Kyai Kartisara. Kyai Kartisara sangat disegani
dan dihormati orang-orang di tempat itu. Karena itu dia dianggap sebagai
"sesepuh"nya. Lama-kelamaan daerah pinggiran gunung Slamet bagian
selatan yang tadinya hutan itu menjadi suatu desa yang aman. Namun desa
itu belum mempunyai nama. Karena itu Kyai Kartisara mengusulkan agar
desa itu diberi nama Purwakerta. Purwa artinya awal mula; Kerta artinya
aman atau damai. Jadi Purwakerta artinya awal mula yang damai. Nama itu
disepakati oleh semua penduduknya. Rumah-rumah bertambah, hutan-hutan
pun banyak berubah, banyak ladang dan sawah. Banyak orang-orang dari
kampung lain yang singgah, ada juga yang pindah. Sehingga desa itu
semakin ramai dan indah. Kyai Kartisara mempunyai seorang putera bernama
Kendang Gumulung. Kendang Gumulung juga menuruni bakat ayahnya.
Sehingga, setelah Kyai Kartisara meninggal dia menggantikan kedudukan
sang ayah. Kemudian Kendang Gumulung yang me¬miliki ilmu kesaktian
seperti ayahnya berpindah tempat. Di tempat ini pun banyak orang yang
berguru padanya. Orang-orang yang mau belajar atau berguru ke tempat
tinggal Kendang Gumulung me¬nyebutnya kepeguron. Peguron artinya tempat
berguru. Dari kata Peguron lama kelamaan menjadi Peguwon. Di kemudian
hari tempat ini disebut orang desa Peguwon. Setelah meninggal Kendang
Gemulung dimakamkan di desa peguwon. Hingga kini orang menyebutnya makan
kyai Kendang Gemulung.
secara kronologis pindah nya pusat pemerintahan yaitu antara kali Logawa dan kali Banjaran
secara wilayah pusat pemerintahan Pasirluhur berada di barat kali
Banjaran . Desa Paguwan cikal bakal Kota Purwokerto berpusat di
antara kali Banjaran dan kali Kranji Semuanya merupakan anak kali
Serayu . Banyumas di selatan kali Serayu .
Maka Purwokerto secara sah merupakan pengembangan dari Desa Paguwan
yang mulai dibangun sekitar tahun 1742 setelah era geger pecinan
kraton kartasura .
Kota Purwakerta (Poerwokerto) info dari http://www.banjoemas.com/
Poerwakerta atau Purwakerta; "Purwa"
yang konon diambil dari nama sebuah negara kuna di tepan sungai Serayu
"Purwacarita" bermakna "permulaan" dan "Kerta" yang diambil dari nama
ibukota kadipaten "Pasir" yaitu "Pasirkertawibawa" yang dalam bahasa
Jawa-Kawi bermakna "kesejahteraan" atau lengkapnya menjadi "Permulaan
kesejahetraan".
Purwakerta merupakan kota kecil dibandingkan dengan Sokaraja atau Ajibarang, bahkan ketika pada tahun 1831 saat pemerintah
Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan dengan membagi-bagi
daerah kota Purwakerta hanya dijadikan ibukota Distrik dibawah Kabupaten
Ajibarang. Walaupun kemudian pada tahun 1836 kota Ajibarang terkena
musibah angin puting beliung selama 40 hari 40 malam yang akhirnya atas
persetujuan Residen Banyumas pusat kota kabupaten Ajibarang di pindah ke
desa Paguwan (Paguhan) yaitu desa sebelah barat ibukota distrik
Purwakerta oleh bupati Raden Tumenggung Bartadimeja yang bergelar Raden
Adipati Mertadireja II dan Asisten Residen Werkevisser. Seperti
kota-kota lain yang di bangun oleh , biasanya dibangun di lahan
baru yang tidak jauh dari kota asalnya.
Desa Paguwan berada di
sebelah barat sungai kranji dan kota Purwakerta, di sebelah timur sungai
Banjaran di sebelah utara Pereng (tebing) sungai Kranji. Dan pendopo
kabupaten dibangun di atas sendang yang sangat jernih airnya yang dulu merupakan tempat mandi para santri di
pondok pesantren Pekih di Paguwan. Sedangkan rumah Asisten Residen
Purwakerta berada di Bantarsoka (Tebing sungai Banjaran) dan kantor
landkas berada di sebelah timurnya.