Pihak pelestari adat masyarakat Banakeling kini terus mewacanakan dan mengikhtiarkan pendirian rumah joglo dan museum budaya.
Hal ini diupayakan untuk menampung dan memfasilitasi minat warga luar terhadap budaya ‘’anak putu’’ (pengikut) Banakeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Dikatakan Ketua pelestari adat Banakeling, Sumitro, pihaknya terus berupaya menjalin berbagai kerja sama dan memperluas jaringan khususnya kepada pihak birokrasi dan lainnya untuk bisa mewujudkan harapan tersebut.
Pasalnya seperti diketahui sampai saat ini, banyak pihak datang ke Pekuncen untuk melihat langsung kehidupan pengikut Banakeling. ”Sudah banyak yang datang ke sini untuk meneliti, memotret dan bertanya banyak hal tentang Banakeling.
Mereka antara lain dari kalangan peneliti, akademisi, jurnalis, fotografer, wisatawan dan lainnya,” katanya. Wacana pendirian joglo dan museum itu terus menguat karena sampai saat ini tamu yang datang ke Pekuncen terbilang cukup banyak. Terlebih lagi saat gelaran Perlon Unggah-unggahan yang dilaksanakan, Kamis- Jumat (18-19/5) kemarin.
Ribuan ‘’anak putu’’Banakeling yang datang untuk melakukan ritual ziarah telah menjadi objek menarik untuk dilihat, diteliti, ditulis dan diabadikan. ”Selain para wartawan, ada juga para pehobi foto yang datang. Yang dari luar kota, bahkan sampai mencari penginapan di sini. Makanya mulai dari sekarang berbagai hal terkait dengan jumlah tamu nonpengikut Banakeling ini harus kami pikirkan dan atur,” jelas Sumitro.
Sumitro berharap dengan adanya joglo dan museum ini diharapkan dapat menjadi fasilitas para tamu dari luar untuk bisa mengenal tentang berbagai benda budaya Banakeling. Hal ini penting apalagi sampai dengan saat ini juga telah banyak kajian akademis, tulisan media dan berbagai hal lain yang telah mengulas Banakeling.
Dapat Terjawab
”Bisa dibilang, ketika ada tamu yang datang ke sini, pertanyaannya seputar hal itu-itu saja. Makanya ketika ada museum ini, maka sejumlah pertanyaan dapat terjawab dengan membaca dan melihat museum. Baru setelah belum ada yang dimengerti, bisa ditanyakan kepada kami,” ujarnya. Kepala Desa Pekuncen, Suwarno menyatakan eksistensi masyarakat adat Banakeling adalah kekayaan kearifan lokal yang tak ternilai harganya.
Terkait hal itulah ia juga berharap kepada para tamu yang datang dapat turut menghormati dan menjunjung adat istiadat yang berlaku di lingkungan lokal Desa Pekuncen tersebut. ”Makanya sebagaimana berlaku sejak dulu, setiap tamu yang datang ke lokasi ini dengan berbagai kepentingannya, diwajibkan untuk turut serta dalam kebiasaan dan cara adat warga setempat.
Karena sebagai masyarakat adat, mereka juga punya tata cara, tata tertib untuk menjaga hak-hak mereka,” jelasnya.
Dokumentasi unagah ungahan bonokeling beberapa waktu lalu
credit to Info Jatilawang
Masyarakat Adat Terus Dorong Keseimbangan Alam
Melalui kearifan ajaran leluhur yang terus terpelihara hingga sekarang ini, masyarakat adat Banakeling, di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, secara berkelanjutan terus menjaga kondisi alam.
Pantangan menebang dan mengambil pohon besar di area sakral mereka menjadi salah satu contohnya. Ketua Pelestari adat Banakeling, Sumitro mengatakan, melalui berbagai ajaran leluhur yang ada, masyarakat adat terus berusaha menjadi bagian dari alam.
Untuk itulah keseimbangan alam dan memanfaatkan alam secara bijaksana terus dilaksanakan. “Untuk area pemakaman Mbah Banokeling, pantang ada orang menebang atau mengambilnya. Jadi, kalau perlakuan untuk tempat itu adalah merawat, membersihkan dan menjaganya saja,” katanya.
Dijelaskan Sumitro, keseimbangan alam di area sakral termasuk pemakaman dan hutan adat seluas lebih dari 2 hektare itu telah dilaksanakan sejak dulu. Selain wilayah tersebut, warga bisa menaman aneka kayu produksi yang bisa ditebang dan dijual kapan saja di lahan yang lain.
Terlarang
“Jadi, kami menganut pemahaman ada area yang sakral dan terlarang untuk dirambah. Selain itu kami juga mengakui adanya ajaran untuk melaksanakan laku prihatin menahan lapar dan haus melalui ‘ngrakeh’yaitu memakan ubi-ubian selama kurun waktu tertentu.
Ini bisa menjadi upaya mengurangi konsumsi nasi,” jelasnya. Kader Lingkungan Banyumas, Kusno menyatakan, berbagai kearifan lokal hingga sekarang memang masih terus dijaga oleh warga Banyumas. Namun sebagian kearifan lokal lainya sebagian telah terkikis dan hilang dari masyarakat karena perilaku konsumtif masyarakat dalam memanfaatkan hutan.
“Kalau di wilayah Baturagung Baseh, Kedungbanteng juga masih ada pantangan menebang ataupun mengambil kayu yang ada di situs purbakala ini.
Jadi ada kepercayaan jika ada yang mengambil akan akan mendapatkan celaka,” katanya. Selain di Baturagung, di wilayah hutan lindung dekat Curug Gomblang, kepercayaan dan pantangan untuk menebang pohon benda juga masih dilakoni warga setempat. Apalagi sesuai dengan pengamatannya, pohon benda merupakan benda yang bisa menyerap banyak air dari tanah.
“Ini bisa menjadi tanaman konservasi air. Meskipun sering terdengar mistis, namun alangkah lebih baik kita bisa merasionalisasi berbagai mitos dan pantangan yang ada. Apalagi jika mitos ini ternyata punya manfaat untuk menjaga keseimbangan alam,” ujarnya.
sumber suara merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar