Digarap Sampai Sepuluh Hari
Menelisik Kehidupan Perajin Calung
KESENIAN calung banyumasan sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2013. Di balik ketenaran irama musik bambu ini, tidak banyak yang mengetahui suka-duka para perajin calung.
Duduk bersimpuh beralas spanduk bekas, Kistam (55) sibuk menimang-nimang sebilah bambu. Sesekali dia mengukur, lalu diletakkan kembali ke dalam kotak untuk ditata berjajar.
Pria tujuh anak itu, yang bekerja sebagai pembuat gamelan dan calung, sudah menekuni pekerjaan ini semasa masih bujangan. Meski sebelumnya dia hanya bekerja sebagai pandai besi. ”Saya mulai tertarik membuat calung karena sering ikut rombongan seni lengger. Waktu itu hanya menabuh, tapi sekarang jadi pembuat alatnya,” tuturnya.
Bambu Wulung
Calung yang bagus, kata dia, dibuat dari bambu wulung yang kering. Sebelum dipotong, harus dilubangi di bagian ruas. Tujuannya agar tidak mudah pecah saat mulai dirakit menjadi calung. Pelaku seni yang memahami seluk-beluk calung bahkan sampai menyimpan atau ditarang di atas tungku api tradisional dalam waktu kurang lebih dua tahun.
”Setelah benar-benar kering, baru dibelah dan dirakit menjadi calung,” ujar pria yang tinggal di RT 2 RW 1 Desa Kedawung, Kecamatan Susukan, Banjarnegara ini. Lantaran membutuhkan waktu yang lama, beberapa pelanggan Kistam memilih untuk menyediakan bahan baku sendiri.
Jadi, pria yang merakit bambu sejak tahun 1980 ini tidak memerlukan waktu lama untuk membuat satu set alat musik calung. Dia menuturkan, proses pembuatan calung 8-10 hari. Tergantung pada tingkat kesulitan dan keinginan pemesan.
”Paling sulit itu kalau membuat bilah untuk nada kecil atau calung yang kecil. Apalagi sekarang satu alat calung modern bisa disetel slendro dan pelog. Menemukan irama yang pas itu tidak mudah,” kata dia. Untuk mempercepat proses pembuatan, terkadang Kistam harus mengajak rekannya. Dia bertugas membuat bambu calung, sementara teman lainnya membuat kotak kayu untuk wadah bilah-bilah bambu.
Dari jasa pembuatan calung serba buatan tangan ini, dia hanya menerima upah ‘’pertemanan’’ Rp 1.200.000. Dengan catatan, si pemesan harus menyediakan bahan baku sendiri. ”Pemesan paling jauh dari Yogyakarta. Saya sampai ikut ke sana, sekalian berguru tentang cara pembuatan gamelan,” tuturnya.
Salah satu pembeli, Hadi Pranoto, mengatakan, calung buatan Kistam rapi dan halus. Suaranya juga terdengar merdu dan nyaring. ”Kualitas yang bagus ini membuat sanggar seni di desa kami menjadi pelanggan Pak Kistam untuk membuat calung,” katanya.
|
sumber : Suara Merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar