PAGI-pagi benar, Saiman (56) bergegas masuk ke dalam hutan karet. Tangkas, tangannya mengeluarkan satu persatu getah karet di dalam batok kelapa setengah lingkaran lalu dimasukkan ke dalam ember yang dipanggulnya.
Demikian keseharian pendiri grup musik calung di Desa Karangrau, Kecamatan Banyumas yang digambarkan dalam film dokumenter Pesan Dari Alas Karet, garapan sutradara Caecilia Fungsiana Putri Nusantari.
Film yang diproduksi komunitas film Tarsisianografi tersebut baru saja diganjar sebagai juara harapan III kategori dokumenter Festival Film Puskat, yang digelar Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta, 10 Agustus 2017 lalu. Film ini mengisahkan warga Desa Karangrau yang masih berusaha melestarikan musik calung.
Uniknya, mereka tidak hanya tampil melayani hajatan yang digelar oleh masyarakat, tapi juga kerap menjadi musik pengiring di Gereja Katolik Stasi Karangrau dan shalawatan di masjid desa setempat. Meski personelnya berbeda agama, mereka tetap kompak.
Bahkan saling bahumembahu mengembangkan kesenian tersebut. Tidak hanya di kelompok musik calung, beberapa penabuh juga ikut terlibat di kelompok gamelan. “Musik calung Banyumasan ini menjadi pesan kebinekaan yang ingin kami sampaikan kepada khalayak. Akhir-akhir ini keberagaman bangsa sering diusik dengan isu agama,” ujar sutradara film, Caecilia.
Riset Singkat
Dia mengaku tidak menyangka film tersebut dapat meraih juara. Pasalnya, proses riset dokumenter ini relatif singkat dan kurang mendalam. “Masih banyak kekurangan di film ini.
Seharusnya bisa dimaksimalkan,” katanya. Pada Festival Film Puskat yang mengambil tema “Merawat Keberagaman”, sebanyak 45 film dikirimkan oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Untuk kategori dokumenter, film Harta Karung garapan sutradara Miftachul Rahman (Semut Nakal Malang) meraih juara I, juara II diperoleh Ojek Lusi sutradara Winner Wijaya (Hore Besok Libur Tangerang), juara III Dalang Suparman sutradara Rival Ardiansyah (Kuda Pelangi Yogyakarta), juara harapan I dan II diberikan kepada film Dongeng Pak Bagong sutradara Agustinus Dwi Nugroho (Montase Production Yogyakarta) dan 7 Km di Bawah Puncak Volcano sutradara Achmad Nur Wahib (Orca Films Yogyakarta).
Ketua Komisi Sosial Keuskupan Purwokerto, RD Cassianus Teguh Budiarto yang mendampingi saat menerima penghargaan mengatakan, film tersebut mengajarkan perjuangan tokoh penggerak kesenian calung yang tetap berusaha menjaga kesatuan dalam perbedaan di pelosok desa. “Meski sadar memiliki perbedaan agama, namun warga setempat tetap saling mendukung lewat calung baik sebagai iringan musik di tempat ibadah,” ungkapnya.
sumber suara banyumas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar