Jalan sunyi untuk penyelenggaraan pendidikan yang luas, merata dan berkeadilan itu terus ditempuh oleh para sukarelawan sekaligus guru MTs Pakis Pesawahan di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.
BERDIRI di lokasi kepungan hutan Perhutani Banyumas Timur, madrasah ini telah menjadi salah satu lentera peradaban bagi daerah terpencil dengan angka partisipasi pendidikan warga yang rendah. Mayoritas siswa sekolah alam berbasis pesantren ini adalah anak-anak dari Dusun Pesawahan Desa Gununglurah dan Dusun Karanggondang Desa Sambirata.
Dengan adanya MTs Pakis yang didirikan Yayasan Argowilis inilah sejak empat tahun lalu, warga tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk transportasi ke sekolah. Dengan penghasilan sebagai buruh tani hingga penyadap getah pinus serta latar belakang pendidikan orang tua yang rendah juga mendorong motivasi belajar anakanak turut rendah. Di sinipun angka pernikahan dini masih cukup tinggi.
”Kalau sekolah di wilayah Cilongok, sebulan untuk antar jemput ojek atau angkutan berkisar Rp 300 ribu per anak. Belum biaya yang lainnya, makanya ini sangat berat bagi kami yang tak mampu untuk bisa menyekolahkan anaknya,” jelas Suparno, warga Dusun Pesawahan.
Terpaksa Berhenti
Sebelum adanya MTs Pakis Pesawahan, di lokasi Dusun Pesawahan ini, juga telah didirikan Pos PAUD. Namun karena pasang surut murid, maka pengajar dari luar dusun terpaksa berhenti.
Berkaca dari pengalaman itulah, penyelenggaraan MTs Pakis juga selalu disokong oleh para sukarelawan pengajar yang sebagian masih berstatus mahasiswa. Ironisnya, dengan perjuangan yang keras dan medan yang berat, tak seluruh relawan bertahan lama mengajar di madrasah ini.
Apalagi bagi mahasiswa yang telah lulus, mereka juga dituntut oleh keadaan untuk bertahan secara ekonomi dan sebagainya. ”Meski statusnya guru, namun dalam pembelajaran kita berperan sebagai pendamping siswa. Untuk bertahan secara ekonomi, para relawan ini biasanya punya usaha sampingan.
Selain itu adanya kunjungan wisata agroforestri ke wilayah sini juga menjadi salah satu tambahan. Tapi itu memang tidak pasti,” kata Isrodin, Kepala MTs Pakis yang setiap hari bersama tiga orang relawan lain tinggal dan hidup di salah satu ruang dan gubuk sekitar madrasah. Selain tantangan untuk bertahan hidup, para sukarelawan pengajar MTs Pakis juga harus bergerilya mencari siswa di dua dusun ini yang penduduknya sebagian berprofesi sebagai penyadap getah pinus.
Di madrasah inipun, siswa tidak wajib mengenakan seragam sekolah dan untuk tahun 2016 lalu saja, madrasah ini juga memperbolehkan orang tua atau anak menyerahkan hasil bumi berupa apapun untuk ‘masuk’ke madrasah ini. ”Kalau tahun sebelumnya pernah kita menyarankan agar masuk sekolah pertama, siswa atau orang tua menyerahkan alat pertanian.
Tetapi sekarang cukup hasil bumi saja. Kami mendorong itu agar siswa tetap bangga menjadi anak petani dan apa yang mereka berikan juga untuk pendukung pembelajaran mereka di madrasah ini,” kata Isrodin. Dengan keberadaan madrasah ini, warga setempat menyambut baik dan berharap agar para pengelola tidak menyerah. Warga juga berterimakasih karena selama beberapa tahun terakhir, sejumlah pihak baik kalangan pemerintah, BUMN dan sebagainya mulai memperhatikan wilayah Dusun Pesawahan hingga Karanggondang.
”Kami berharap dukungan untuk pembangunan wilayah kami yang di tepian hutan ini diteruskan sehingga warga kami tidak selalu tertinggal dengan wilayah lainnya,” jelas Ahmad (40) warga setempat. Berbeda dengan madrasah di wilayah perkotaan, pengelola MTs Pakis Pesawahan tak bercita-cita muluk-muluk. Mereka berharap dengan adanya lembaga pendidikan di wilayah ini maka sedikit demi sedikit warga di wilayah terpencil itu dapat mengakses pendidikan dengan mudah, murah dan dekat.
Agar tak keluar dan tercerabut dengan akar kebudayaan dan potensi wilayah setempat, MTs inipun mendorong agar menjadi madrasah yang terunik dan terbaik dengan memberikan muatan lokal pertanian. ”Kalau dibandingkan dengan sekolah, madrasah ini memang tak bisa karena memang delapan standar nasional pendidikan masih jauh.
Namun kami terus berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai keterbatasan. Selain kurikulum dan pembelajarannya mengacu pada pendidikan formal, kami juga mengajarkan agroforestri, peternakan, perikanan, pertanian, kehutanan dan wisata sebagai bekal anak-anak,” jelas Windo, salah satu guru relawan yang masih berstatus mahasiswa perguruan tinggi negeri di Purwokerto ini.
sumber suara merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar