Pamong Budaya Tersisa 8 Orang
Cagar Budaya Segera Dibentuk
Pamong budaya di wilayah Banyumas hanya tersisa delapan orang. Padahal, perannya cukup besar dalam pelestarian benda cagar budaya dan seni budaya.
Ketua Paguyuban Pamong Budaya Kabupaten Banyumas, Tri Wardhono menuturkan, saat dibentuk pertama pamong budaya berjumlah 27 orang yang bertugas di setiap kecamatan. Namun, seiring berjalannya waktu, kini hanya menyisakan delapan tenaga saja. “Pascapensiun dan sudah tidak aktif, saat ini hanya tersisa 8 orang yang harus membina di 27 kecamatan. Hampir semua pamong juga sudah mendekati masa pensiun.
Itu tugas yang berat,” kata dia, kemarin. Menurut Tri, peran pamong budaya kini harus dibagi wilayah per kawedanan. Meski bertugas sebagai ujung tombak dalam masalah pembinaan kesenian dan kebudayaan, mereka terkendala masalah kekurangan jumlah personil.
Tri mengatakan, keterbatasan jumlah ini menyebabkan beberapa kelompok kesenian di setiap kecamatan bergerak tanpa pembinaan. Jabatan fungsional ini merupakan amanah yang sulit. Serta membutuhkan arahan yang jelas dari intansi terkait. “Meski sudah pensiun, beberapa mantan pamong budaya masih terlihat ikut membantu proses pembinaan. Mereka tetap merasa peduli dengan budaya Banyumas.
Sebenarnya malah tidak ada istilah pensiun” jelasnya. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko mengatakan, mulai tahun ini, pamong budaya dikembalikan lagi ke bidang kebudayaan. Namun, kondisi kekurangan personel ini harus segera diatasi.
“Solusinya, kami segera membentuk komunitas Cagak Budaya. Ini merupakan wadah bagi pamong budaya yang dibantu tenaga dari instansi, pegiat dan pemerhati budaya yang siap bekerja keras,” kata dia, usai pembentukan komunitas Cagak Budaya, Rabu (8/3).
Deskart menjelaskan, komunitas yang dibentuk tersebut akan menjalankan funsgi seperti pamong budaya. Di antaranya pendataan berbagai jenis kesenian hingga kesejarahan dan menjalankan program kesenian. Secara periodik mereka akan membuat pelaporan terbaru mengenai perkembangan yang ada di tiap wilayahnya. Menurut dia, komunitas ini juga diarahkan untuk menjadi badan hukum.
Sehingga dapat membantu kegiatan pembinaan kebudayaan. “Selama ini fokusnya hanya pada pendampingan kesenian saja. Padahal budaya itu luas, ada sastra, sejarah dan purbakala, museum, nilai tradisi, itu semuanya vital,” tandasnya.
Membangun Relasi dengan Pengusaha
pendampingan dan pelestarian seni budya juga membutuhkan relasi dengan kalangan pengusaha. Tujuan itu perlu dimasukkan dalam komunitas Cagak Budaya yang dibentuk sebagai wadah pamong budaya dan pelaku seni lainnya.
Pengamat wisata dan budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Drs Chusmeru MSi menilai, secara ideal jumlah pamong budaya harus sesuai dengan jumlah kecamatan. Pasalnya, mereka yang memahami kondisi kelompok dan dinamika seni budaya di wilayah masing-masing.
“Sebagai ujung tombak tentu mereka yang paham. Jika jumlahnya berkurang memang lebih sulit untuk melakukan pemantauan dan pendampingan,” ujar Chusmeru. Menurut pengampu mata kuliah Komunikasi Tradisional di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unsoed ini memandang perlu dihidupkan kembali kantong budaya yang didampingi oleh pamong.
Tentunya tugas itu bisa dibantu oleh komunitas Cagak Budaya. Selain itu, lembaga seperti DPRD dan Pemkab juga harus memiliki political will dalam hal pembinaan misalnya dengan membuat Perda tentang Pembinaan dan Pelestarian Seni Budaya Banyumas. “Kalau perlu seni budaya Banyumasan juga masuk di muatan lokal sekolah, mulai SD sampai SMA,” katanya.
Relasi dengan kalangan pengusaha, sambung Chusmeru, juga sangat penting. Misalnya kalangan industri, perhotelan, restoran, pusat perbelanjaan dibutuhkan untuk menanamkan investasi sosial budaya dalam bentuk program corporate social responsbility (CSR) atau menjadikan salah satu kesenian Banyumas sebagai “anak angkat” mereka.
Hotel dan restoran bisa menyuguhkan “welcome dance” atau penyambutan tamu dengan menghadirkan kesenian calung, lengger, buncis, sintren, begalan, atau bahkan ebeg. “Ini yang disayangkan. Kepedulian dunia bisnis di Banyumas masih rendah.
Di Bali, welcome dance dengan menampilkan seni tradisi merupakan hal yang biasa dilakukan hotel dan restoran, atau dunia pariwisata seperti saat penyambutan Raja Salman dengan tari Pendet di bandara. Sebenarnya hotel dan restoran sangat potensial utk ikut melakukan pembinaan dan pelestarian seni budaya. Mereka juga diuntungkan dengan keberadaan seni Banyumasan,” jelasnya.
sumber Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar