Persoalan PKL bukan hanya domain bagi Kota Purwokerto saja tapi juga bagi Kecamatan lain di luar kota. Selain Purwokerto, penertiban PKL baru baru ini dilakukan penertiban di Banyumas, Wangon, dan rencana di Ajibarang tapi tertunda karena rawan konflik. Sebenarnya ada 2 kepentingan yang bertentangan terkait keberadaan PKl yaitu ketertiban dan keindahan kota dengan Tuntutan kebutuhan hidup masyarakat . Maka menjadi PKL menjadi piklihan hidup di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Lokasi Pengganti Ramai, PKL Jensoed Tak “Ngeyel” Direlokasi
suaramerdeka.com
- Keberadaan PKL Jalan Jenderal Soedirman (Jensoed) Purwokerto yang
selama ini terkesan “ngeyel” tidak mau ditata atau direlokasi ditepis
pihak paguyuban PKL setempat. Hal itu diungkapkan Ketua Paguyuban PKL
Jenseod, Dede Yayat saat hadir dalam diskusi penataan PKL Jensoed, yang
diselenggarakan Lingkar Kajian Banyumas (LKB), kelompok diskusi dan
riset dari kalangan mahasiswa FISIP Unsoed.
“Kita tidak ngeyel untuk relokasi, karena tempat sekarang sudah ramai, sehingga belum tentu kalau dipindah memperoleh ekonomi yang sama,” kata Dede, Kamis (17/12).
Terkait tawaran diberi anggaran dari pemkab sebagai jaminan saat bersedia dipindah, nilai dia, tidak akan diterima. Karena yang dibutuhkan mereka adalah tempat untuk berdagang yang ramai seperti sekarang. “Dulu pernah ada relokasi ke Pasar Situmpur, namun ternyata tidak memperoleh ekonomi sehingga kembali lagi ke tempat semula,” ceritanya.
Kabid Pasar dan PKL Dinperindagkop, Amrin Ma’ruf menyampaikan, sejuah ini pesan Bupati, pihaknya diminta terus menjalin komunikasi dengan PKL dan tidak boleh mengambil kebijakan relokasi yang dipaksanakan. “Saya diminta untuk komunikasi secara langsung dengan beberapa pihak yang melibatkan PKL dalam penataan PKL dan PKL ini harus dijadikan selter pedagang,” katanya.
Hal yang sama terjadi di shelter jend sudirman, bahkan sudah ditolak sebelum sempat ditempati pedagang, terakhir menjadi sentra batu , serayu stone saat batu sedang popular dan booming. Tapi itu pun telah lewat, seiring pudarnya popularitas batu lokasi ini pun mati suri.
Tak mudah memang , belum lagi jika ada konflik PKL dengan warga. Salah satu rencana Pemkab Gagal sebelum sempat terwujud adalah Renovasi pasar Glempang sekaligus menyediakan lokasi untuk relokasi PKL. Rencana ini ditolak warga karena dianggap lokasi itu aset miklik desa dan PKL tidak berhak menempati.
(Radar Banyumas) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Jendral Sudirman saat ini masih menjadi sorotan publik. Pasalnya sudah sejak lama, Pemkab Banyumas dianggap tidak mampu menangani persoalan tersebut.
Untuk itu, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Lingkar Kajian Banyumas (LKB) menggelar diskusi publik dengan tema Penataan PKL Jensud, Kamis (17/12).
Menurut Pengamat Politik Ahmad Sabiq SIP MA, PKL sekarang telah menjadi isu politik. Salah satunya saat Pilkada. PKL merupakan fenomena yang ada di berbagai wilayah karena muncul sebagai sektor informal dan berjualan di bahu jalan, trotoar dan badan jalan.
“Sebagaimana yang dilakukan oleh PKL Jensud yang melakukan kegiatan ekonomi di jalan,” kata Sabiq. Padahal dalam UU lalu lintas dan angkutan umum, penggunaan bahu jalan atau trotoar merupakan hak pejalan kaki.
Namun dalam peraturan daerah dan peraturan bupati, PKL boleh melakukan kegiatan ekonomi di trotoar, bahu jalan serta badan jalan.
Komisi B DPRD Banyumas, Subagyo yang juga hadir dalam diskusi mengatakan, masalah PKL dilematis. Yakni sebagai usaha informal yang dilakukan oleh masyarakat tetapi juga bertentangan dengan penggunaan jalan. “Ketika diberantas, akan semakin tumbuh,” kata Subagyo.
Menurutnya, penataan 20 PKL Jensud sebenarnya mudah asal disediakan tempat. “Penertiban PKL tidak untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk menciptakan ketertiban di Banyumas dan menghormati hak pengguna jalan. Sehingga diperlukan penanganan secara tuntas dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ketua PKL Jensud Dede Yayat mengatakan, jumlah PKL memang 20 tetapi yang terdaftar di paguyuban lebih dari 20. “PKL Jensud tidak ngeyel untuk relokasi. Tetapi harus ada penyediaan tempat yang strategis dan ada pemantauan secara keberlanjutannya,” katanya.
Sementara Kepala Bidang Pasar dan PKL Dinperindagkop Amrin Ma’ruf mengatakan, secara pribadi belum ada komunikasi secara langsung dengan PKL. “Saya diperintahkan oleh bupati untuk tidak menggusur PKL. Saat ini sudah ada komunikasi secara langsung oleh beberapa pihak dalam penataan PKL,” katanya.
Tahun depan, pemerintah akan menata kembali Kebondalem untuk area perekonomian. Sehingga perlu ada negoisasi antara PKL, dinas terkait serta pihak-pihak terkait sesuai dengan aturan. “Dari dinas meminta untuk ada anggaran untuk diskusi dengan PKL serta studi banding ke wilayah lainnya. Selain itu juga diperlukan peraturan untuk mengatur hal tersebut,” jelasnya
“Kita tidak ngeyel untuk relokasi, karena tempat sekarang sudah ramai, sehingga belum tentu kalau dipindah memperoleh ekonomi yang sama,” kata Dede, Kamis (17/12).
Terkait tawaran diberi anggaran dari pemkab sebagai jaminan saat bersedia dipindah, nilai dia, tidak akan diterima. Karena yang dibutuhkan mereka adalah tempat untuk berdagang yang ramai seperti sekarang. “Dulu pernah ada relokasi ke Pasar Situmpur, namun ternyata tidak memperoleh ekonomi sehingga kembali lagi ke tempat semula,” ceritanya.
Kabid Pasar dan PKL Dinperindagkop, Amrin Ma’ruf menyampaikan, sejuah ini pesan Bupati, pihaknya diminta terus menjalin komunikasi dengan PKL dan tidak boleh mengambil kebijakan relokasi yang dipaksanakan. “Saya diminta untuk komunikasi secara langsung dengan beberapa pihak yang melibatkan PKL dalam penataan PKL dan PKL ini harus dijadikan selter pedagang,” katanya.
Pada masa Bupati Marjoko, digagas shelter untuk PKL. saat ini masih berjalan yaitu Pratista Harsa Blok A untuk Kerajinan rakyat atau UKM dan Pratista Harsa Blok B untuk kuliner. Tapi sayang program ini mengalami kegagalan, senakin lama semakin sepi dan ditinggal pedagang . selain itu shelter di Jl Jend Sudirman juga tidak diminati pedagang. Maka dikatakan bahwa program ini gagal. Karena penyebab utama berupa tidak mampu memberikan dampak ekonomi bagi pedagang eks PKL itu sendiri.Likasi ini sepi pembeli.
Hal yang sama terjadi di shelter jend sudirman, bahkan sudah ditolak sebelum sempat ditempati pedagang, terakhir menjadi sentra batu , serayu stone saat batu sedang popular dan booming. Tapi itu pun telah lewat, seiring pudarnya popularitas batu lokasi ini pun mati suri.
Tak mudah memang , belum lagi jika ada konflik PKL dengan warga. Salah satu rencana Pemkab Gagal sebelum sempat terwujud adalah Renovasi pasar Glempang sekaligus menyediakan lokasi untuk relokasi PKL. Rencana ini ditolak warga karena dianggap lokasi itu aset miklik desa dan PKL tidak berhak menempati.
Diskusi Publik tentang PKL
(Radar Banyumas) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Jendral Sudirman saat ini masih menjadi sorotan publik. Pasalnya sudah sejak lama, Pemkab Banyumas dianggap tidak mampu menangani persoalan tersebut.
Untuk itu, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Lingkar Kajian Banyumas (LKB) menggelar diskusi publik dengan tema Penataan PKL Jensud, Kamis (17/12).
Menurut Pengamat Politik Ahmad Sabiq SIP MA, PKL sekarang telah menjadi isu politik. Salah satunya saat Pilkada. PKL merupakan fenomena yang ada di berbagai wilayah karena muncul sebagai sektor informal dan berjualan di bahu jalan, trotoar dan badan jalan.
“Sebagaimana yang dilakukan oleh PKL Jensud yang melakukan kegiatan ekonomi di jalan,” kata Sabiq. Padahal dalam UU lalu lintas dan angkutan umum, penggunaan bahu jalan atau trotoar merupakan hak pejalan kaki.
Namun dalam peraturan daerah dan peraturan bupati, PKL boleh melakukan kegiatan ekonomi di trotoar, bahu jalan serta badan jalan.
Komisi B DPRD Banyumas, Subagyo yang juga hadir dalam diskusi mengatakan, masalah PKL dilematis. Yakni sebagai usaha informal yang dilakukan oleh masyarakat tetapi juga bertentangan dengan penggunaan jalan. “Ketika diberantas, akan semakin tumbuh,” kata Subagyo.
Menurutnya, penataan 20 PKL Jensud sebenarnya mudah asal disediakan tempat. “Penertiban PKL tidak untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk menciptakan ketertiban di Banyumas dan menghormati hak pengguna jalan. Sehingga diperlukan penanganan secara tuntas dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ketua PKL Jensud Dede Yayat mengatakan, jumlah PKL memang 20 tetapi yang terdaftar di paguyuban lebih dari 20. “PKL Jensud tidak ngeyel untuk relokasi. Tetapi harus ada penyediaan tempat yang strategis dan ada pemantauan secara keberlanjutannya,” katanya.
Sementara Kepala Bidang Pasar dan PKL Dinperindagkop Amrin Ma’ruf mengatakan, secara pribadi belum ada komunikasi secara langsung dengan PKL. “Saya diperintahkan oleh bupati untuk tidak menggusur PKL. Saat ini sudah ada komunikasi secara langsung oleh beberapa pihak dalam penataan PKL,” katanya.
Tahun depan, pemerintah akan menata kembali Kebondalem untuk area perekonomian. Sehingga perlu ada negoisasi antara PKL, dinas terkait serta pihak-pihak terkait sesuai dengan aturan. “Dari dinas meminta untuk ada anggaran untuk diskusi dengan PKL serta studi banding ke wilayah lainnya. Selain itu juga diperlukan peraturan untuk mengatur hal tersebut,” jelasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar