KENTHUS
Keluar dari rumah ketua RT
Kenthus merasa dirinya bukan lagi Kenthus. Wajahnya bingar. orang yang di
jumpainya berubah menjadi liliput:kecil bukan main. Pepohonan menjadi kerdil
dan merunduk. Angin di dengarnya bersenandung tembang mangayubaya. Kenthus
telah di lambungkan dari kelas terbawah ke atas panggung kehidupan.
Maka inilah yang sudah
diisyaratkan dalam mimpiku,pikir Kenthus. Ya tak salah lagi. Mimpi nunggang
macan. Apa tidak hebat? Macan adalah tamsil kekuasaan. Aku akan menunggangi
kekuasaan. Dan kenyataan itu tiba.
Sampai,di rumah Kenthus
mendorong pintu bamboo dengan gaya yang gagah. Dan Dawet istrinya,pun sudah
berubah menjadi liliput. Bahkan Dawet bukan hanya kelihatan demikian
kerdil,melainkan juga buruk tidak kepalang. Matanya sepele seperti mata laron.
Komat kamit mulutnya jelek sekali seperti dubur ayam. Tetapi mata laron it uterus menatap Kenthus yang
berjalan mondar mandir seperti bertolak pinggang. Mata laron itu melihat saku
Kenthus yang bunting,pasti berisi uang. Tangan Dawet seperti biasa selalu tak
tahan. Tangan itu menjulur ke arah saku suaminya,tetapi Kenthus berkelit sangat
tangkas.
“lho Kang?”
“Hah apa?”jawab Kenthus
penuh gaya.
“Nganyar-anyari apa mintoni?
Bila orang sudah dekat ajal biasa melakukan hal yang aneh-aneh.”
“Ngawur! Jangan ngomong yang
macam-macam. Lebih baik siapkan kopi dan siapkan Gudang Garam.”
“Nanti Kang,aku jadi ikut.
Kamu sungguh-sungguh bukan sedang mintoni? Lho meski kamu melarat aku tidak mau
jadi janda. Sungguh Kang!”
Kenthus tersenyum,dadanya penuh.
Lalu di ambilnya selembar lima ratusan. Uang itu di acungkannya melalui pundak
kepada Dawet.
“Sudah ku katakana jangan
macam-macam. Nah,pergilah ke warung sana!”
Sampai sekian lama,Dawet
tetap tidak mengerti apa yang menyebabkan tingkah suaminya berubah. Di warung
Dawet berpikir keras untuk memperoleh jawaban. Di dapur kulit keningnya
berkerinyit. Tetapi jawaban pasti tak kunjung tersimpul. Dan ketika Dawet
menghidangkan kopi didapati suaminya sedang menikmati rokok,dengan tingkah yang
nyaris congkak. Dawet makin merasa tidak enak.
“Kang uang tadi bukan hasil
nyolong Kang?”
Kenthus
terkejut. Dia tidak siap menghadapi pertanyaan yang provokatif,bahkan
menyelidik. Keangkuhannya goyah.
“Ngawur lagi! Sepanjang
mengenal si Kenthus,pernahkah kamu mendengar si Kenthus jadi maling?”
“Ya tidak,Kang. Aku mengenal
sejak dulu kamu adalah tukang gembala kerbau milik Pak Suta. Lalu kamu pindah
menjadi tukang maculnya Pak Naya. Pindah lagi menjadi pencari kayu bakar sampai
tertangkap oleh mandor.”
“Cukup! Jadi, kamu belum
pernah mendengar aku jadi maling?”
“Ya,tapi mbok ya
katakana,mengapa kamu berubah tingkah hari ini.”
Kenthus bangkit. Kediriannya
yang baru menggeliat sejak pulang dari rumah Ketua RT tadi pagi,tersinggung.
Dawet dilihatnya lebih kecil dari pada liliput. Mulutnya lebih jelek dari pada
dubur ayam. Kemudian Kenthus berpidato. Penuh gaya,lebih gaya dari pada penjual
obat palsu di depan pasar.
Dikatakannya,dia baru saja
mendapat tugas,semacam wahyu cakraningrat,sebagai pelaksana proyek pengadaan
buntut tikus.
“Bukan semua orang kampung
ini sudah tahu ketika menjadi penggembala kerbau aku sering menyate tikus!”
kata Kenthus dalam tekanan khas,” Melainkan kehormatan ini memang sudah
seharusnya ku terima. Buktinya kemarin dulu aku bermimpi nunggang macan. Jadi,
aku kini sedang menunggangi kekuasaan karena macan adalah lambing kekuasaan.”
Dawet merasa hampir muntah
melihat gaya suaminya berpidato. Perutnya terasa mual. Namun Dawet bertahan.
Akhirnya Dawet mengerti,uang dalam saku suaminya berasal dari kas desa. Dengan
uang itu seluruh warga dirangsang dan digelitik agar mau menghimpun buntut
tingkus sebanyak mungkin. Dan ketika Kenthus berkata,”Para petani sudah terkena
wabah penyakit masabodo sehingga segalanya perlu dirangsang-rangsang.” Dawet bengong.
Karena Dawet yakin suaminya hanya menirukan ucapan ketua RT. Dawet merasa pasti
suaminya seperti dia juga,tak tahu apa-apa arti ucapan ketua RT itu.
“Nah sudah jelas kan?
Jadi,sore nanti,lihatlah. Semua orang kumpul di sana hendak setor buntut tingkus.
Mereka akan antre dan berhimpitan di hadapanku.”
Di depan istrinya,Kenthus
berjalan berputar-putar. Lenggangnya mengayun ke samping kiri dan kanan.
Ditambah dengan gelaknya yang lepas,Kenthus sengaja meniru Dursasana dalam
pentas wayang orang. Dawet dilihatnya hampir hilang karena menjadi
liliputnya,liliputnya liliput. Anehnya,dalam bentuk yang sudah terasa demikian
kerdil,Dawet kehilangan memegangi perut lalu muntah. Oh,Kenthus tidak ambil
pusing. Karena dia sudah membayangkan di hadapannya ada barisan panjang
orang-orang yang amat membutuhkan dirinya. Mereka adalah para warga yang akan
setor buntut tikus. Mereka adalah para warga yang tiba-tiba berubah menjadi
liliput tak berharga di hadapan Kenthus yang sudah jadi orang punya kuasa.
Menjelang pukul tiga,beberapa
orang sudah muncul di rumah Kenthus membawa buntut tikus. Ada yang di ikat
seperti ikatan kacang panjang. Ada yang di bungkus dalam kantong plastik.
Tetapi seorang anak menggemgang begitu saja buntut-buntut tikus dengan
tangannya.
Kenthus berlagak tak acuh.
Dia sibuk menata meja dan kursi buat dirinya sendiri. Lalu duduk penuh gaya,di
tangannya ada pensil dan kertas kumal. Dalam hati Kenthus berdoa,kiranya dia
tidak lupa bagaimana membuat tulisan cakar ayam.
“He,Thus,aku dapat lima
puluh buntut. Sini bayar lima ratus,”kata Korim sambil maju.
“Aku dapat empat puluh
tiga.”
“Aku dua puluh enam.”
“Aku.”
Kenthus tetap duduk tekun
dengan cakar ayam yang sedang di buatnya di atas kertas lusuh. Dia tidak merasa
perlu cepat tanggap karena dia sudah mimpi nunggang macan. Pepohonan sudah
menjadi kerdil dan semua orang berubah menjadi liliput. Ketika Korim mendesak
agar buntut tikusnya di bayar,Kenthus malah masuk ke dalam. “Kalian bisa
menunggu sampai semua orang datang. Kemudian di susun antrean agar tertib.”Kenthus
lalu menghilang.
Dari balik dinding bambu
yang sudah transparan,Kenthus mengintip keluar. Makin banyak penyetor tikus
yang datang. Mereka berbondong-bondong. Sebentar saja halaman rumah Kenthus
penuh liliput. Kemudian lihatlah:Korim yang tidak lain adalah anak bekas
majikan Kenthus,mengambil prakarsa membuat barisan antre. Rasanya dia sudah
termakan oleh kekuasaan seorang pelayan yang mimpi nunggang macan. Terjadi
hiruk pikuk karena ada anak kecil jatuh dan terinjak. Ada seorang kakek yang terhimpit.
Suasana makin bingar. Korim berteriak-teriak menata antrean.
Di dalam rumah Kenthus
menarik tangan Dawet yang kemudian mendekat. Kenthus cekikikan.
“Intiplah keluar. Hi hi lucu
ya?”
“Lho Kang. Cepatlah layani
mereka,”pinta Dawet dengan masygul
“Hi hi biar saja. Aku belum
puas melihat liliput-liliput itu berdesakan. Seperti bebek menunggu gabah,ya?
Hi hi.”
Dawet kembali memegang
perutnya mual lalu muntah. Dan terus muntah. Kenthus bersungut-sungut,lalu
keluar. Kemunculan Kenthus menghebohkan para penyetor buntut tikus. Barisan
antre kocar kacir. Korim kembali berteriak-teriak. Namun Kenthus malah tertawa.
Dia menikmati pandagan di depannya. Orang-orang yang saling berhimpitan dan
saling dorong,anak-anak kecil yang menangis dan seorang kakek yang terbatuk-batuk
sempoyongan.
Kenthus masih terkekeh
melihat leliput-leliput yang bergelut dalam antrean. Mereka mau saja menggondol
buntut tikus demi uang yang kini masih menggumpal dalam saku Khentus.
Sesungguhnya Kenthus tidak
menghendaki tontonan di hadapannya cepat berakhir. Tetapi tiang emper rumahnya
berderak oleh tekanan orang-orang yang antre. Ini gawat,rumahnya bisa rubuh.
Maka Kenthus duduk dan tidak lupa bergaya. Pembayaran di mulai. Korim yang
setor lima puluh bentut mendapat lima ratus perak,yang dapat empat puluh tiga
di bayar empat ratus,yang dapat dua puluh enam di bayar dua ratus lima puluh.
Protes pertama di sambut dengan sikap acuh. Protes ke dua dilayani dengan sorot
mata yang tajam. Protes selanjutnya dilawan dengan pendekatan persuasive sehingga
akhirnya tak ada protes.
Selesai membayar para
penyetor,Kenthus duduk menghadap halaman yang sudah kosong. Di atas meja di
depannya bertimbun buntut tikus. Setelah di hitung Kenthus punya untung hampir
dua ratus buntut. Kenthus puas lalu bangkit mencari Dawet. Aneh,istrinya sudah
berubah kembali menjadi manusia biasa,bukan liliput. Malah Dawet kelihatan
begitu cantik sehingga Kenthus ingin merangkulnya. Dawet yang masih merasa
pusing karena terlalu banyak muntah,diam saja ketika di peluk oleh suaminya. Tetapi
tiba-tiba Dawet beringas. Kenthus di tolaknya ke belakang.
“Jijik,jijiiiik! Apa itu
mimpi nunggang macan? Kamu jadi bau tikus. Tengik dan busuk! Aku
benci,benciiiiiiii!”
Kenthus bengong. Dia hanya
melihat tanpa daya istrinya yang lari lalu membanting pintu dari luar.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus