Setelah melihat burung-burung kuntul
terbang beriringan ke timur, saya dan Simin sadar hari hampir senja. Maka,
saya dan Simin mulai mengumpulkan kerbau-kerbau dan menggiring mereka pulang.
Simin melompat ke punggung si Paing, kerbaunya yang paling besar tanpa
melepaskan wayang rumput yang sedang dianyamnya. Saya naik si Dungkul, kerbau
saya yang bertanduk lengkung ke bawah. Di atas punggung kerbaunya, Simin
meneruskan kegemarannya menganyam wayang rumput. Sambil duduk terangguk-angguk
oleh langkah si Paing, Simin tetap asyik dengan kegemarannya.
Dari hutan jati tempat
kami menggembala kerbau, terlihat kampung kami jauh di seberang hamparan sawah
yang kelabu karena jerami mengering setelah panen. Tampak juga pohon bungur
besar yang tumbuh di tepi sungai yang setiap hari kami perangi. Sekelompok
burung jalak melintas di atas kepala kami. Sambil terbang, burung-burung
itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak didengar. Belalang beterbangan
ketika kerbau kami melintas rumpun jerami.
Sampai ke tepi sungai,
saya melihat Paman Doblo sedang mandi berendam. Saya
turun dari punggung Si Dungkul dan melepas celana. Simin juga. Wayang rumput
yang sudah sudah berbentuk sosok Wisanggeni, tokoh pahlawan kebanggaan Simin,
diletakkan bersama celananya di tanah. Dan, kerbau-kerbau itu sudah lebih dulu
masuk ke air dengan suara berdeburan. Sebelum menyeberang, kerbau-kerbau memang
harus berendam. Itu kebiasaan mereka yang tak mungkin diubah. Kami juga mandi.
Ternak dan penggembala berkubang bersama. Langau-langau beterbangan di
atas kepala kerbau dan kepala kami juga.
Simin mulai pamer
kepandaian main kunclungan. Kedua tangannya menepuk-nepuk air
menimbulkan irama rebana yang amat enak didengar. Saya mengimbanginya
dengan mengayun tangan dalam air sehingga terdengar suara mirip gendang. Plung-plung
pak, plung-plung byur, plung pak-pak-pak, plung-plung-plung byur. Dan,
permainan musik air kian gayeng karena Paman Doblo bergabung. Meskipun
sudah perjaka dia suka bermain bersama kami. Dia sangat akrab dengan anak-anak.
Puas bermain, saya menggiring kerbau-kerbau
menyeberang. Saya tidak naik ke punggung Si Dungkul, tetapi berenang sambil
menggandul ekornya. Keasyikan menggandul di buntut kerbau melintas sungai dalam
adalah pengalaman yang tak pernah saya lewatkan. Sampaij di seberang, saya
menengok ke belakang. Saya lihat Simin sedang jengkel karena Si Paing tak mau
bangkit. Binatang itu agaknya masih ingin berlama-lama berendam. Simin makin
jengkel. Dia naik ke darat. Sebatang pohon singkong diambilnya. Saya tahu Simin
benar-benar marah dan siap memukul Si Paing. Namun, sebelum Simin melaksanakan
niat, terdengar suara yang mencegahnya.
“Jangan Min,” kata Paman Doblo dengan
senyumnya yang sangat disukai anak-anak. “SI Paing memang suka ngadat.
Bila kamu ingin dia bangkit, kamu tak perlu memukulnya. Cukuplah kamu kili-kili
teteknya. Hayo, cobalah.”
Simin mengangguk.
Dia mendekati kerbaunya yang tetap asyik berendam. Nasihat Paman Doblo memang
manjur. Ketika merasa ada rangsangan pada teteknya, kerbau Simin melonjak, lalu
cepat-cepat berenang menyeberang. Simin tertawa, tetapi tangannya segera
menyambar ekor Si Paing. Maka, dia terbawa ke seberang tanpa mengeluarkan tenaga
kecuali untuk tawanya yang ruah.
“Untung ada Paman Doblo,
ya,” bisik Simin di telinga saya. “Kalau tidak, barangkali saya tak bisa pulang
sampai hari gelap. Paman Doblo memang baik dan banyak akal.”
Ya, untung ada Paman
Doblo. Ungkapan ini tidak hanya sekali-dua diucapkan oleh anak-anak seperti
saya dan Simin. Orang-orang tua di kampung kami juga sering mengucapkan
kata-kata itu karena Paman Doblo memang banyak jasa. Ketika ada celeng masuk
dan menggegerkan kampung, hanya Paman Doblo yang bisa mengatasi masalah. Dengan
sebatang kayu pemukul, Paman Doblo berhasil melumpuhkan babi hutan itu. Pencuri
juga enggan masuk kampung kami karena – demikian keyakinan kami – mereka takut
berhadapan dengan Paman Doblo yang dipercaya mahir bermain silat. Ketika Bibi Liyah
tercebut ke sumur, sementara orang-orang panik dan berlarian mencari tangga,
Paman Doblo langsung terjun dan mengangkat Bibi Liyah sehingga dia tidak
terlambat diselamatkan.
Kami, anak-anak juga
percaya Paman Doblo selalu baik terhadap kami. Maka, kami tak perlu sedih bila
misalnya layang-layang kami tersangkut di pohon tinggi. Kami tinggal melapor
dan Paman Doblo dengan senyum seorang paman yang manis akan memanjat pohon itu.
Demikian, Paman Doblo adalah nama untuk pertolongan, untuk rasa aman, dan untuk
keakraban bagi anak-anak. Orang-orang dewasa juga percaya akan kelebihan Paman
Doblo. Buktinya, ketika barisan hansip didirikan di kampung kami, semua orang
sependapat Paman Doblo adalah calon paling tepat untuk jabatan komandan.
Kebaikan Paman Doblo tetap
saya kenang meskipun saya, juga Simin, tidak lagi jadi gembala kerbau di tepi
hutan jati. Dalam perkembangan waktu, saya tersedot arus urbanisasi, kemudian
hidup di kota empat ratus kilometer dari kampung halaman. Sementara, Simin
tetap tinggal di kampung dan jadi carik desa.
Kemarin, Carik Simin
muncul di rumah saya. Kedatangan bekas teman sepermainan itu segera membawa
ingatan saya kembali ke masa anak-anak di kampung. Maka, malam hari dalam
suasana kangen-kangenan, saya bertanya tentang banyak hal; apakah suara
burung hantu masih terdengar dari pohon besar dikuburan bila senja
datang. Atau, apakah menjelang matahari terbit masih terdengar kokok ayam hutan
dari padang perdu di tepi kampung. Juga, apakah masih ada kerlap-kerlip ribuan
kunang-kunang di atas hamparan sawah ketika jatuh gerimis senja hari. Dan,
tentu saya tak lupa bertanya tentang Paman Doblo.
Carik Simin tampak
gelisah ketika mendengar pertanyaan saya terakhir. Tetapi, sambil menundukkan
kepala, akhirnya keluar juga jawabannya.
“Selain masalah pribadi
yang akan saya sampaikan nanti, bisa dibilang kedatangan saya kemari hanya
untuk bercerita tentang dia.”
“Begitu? Tak ada apa-apa
dengan Paman Doblo, bukan?”
“Tidak. Ah, saya harus
bilang apa; Paman Doblo kini lain. Dia tidak seperti dulu lagi. Dia sudah
berubah. Saya merasa Paman doblo mulai berubah tak lama setelah ada sebuah
kilang mengangkat Paman Doblo menjadi satpam. Paman Doblo diberi pakaian
seragam, pisau bergagang kuningan, sepatu laras, sabuk tentara, topi. Juga,
peluit. Dan, akhirnya juga motor bebek baru.”
“Lalu, apa salahnya Paman
Doblo menjadi satpam? Bukannya kita harus senang bila Paman Doblo punya gaji
dan hidup enak?”
“Kamu benar. Tak ada yang
salah ketika seseorang diangkat jadi satpam. Paman Doblo pun semula tak berubah
oleh kemudahan-kemudahan yang dia terima. Dia masih seperti dulu; ramah kepada
semua orang dan manis terhadap anak-anak. Kepada anak-anak yang minta limbah
kilang untuk kayu bakar, Paman Doblo melayani mereka dengan baik. Namun, inilah
yang kemudian terjadi; kebaikan Paman Doblo agaknya malah jadi awal
perubahannya. Pemilik kilang, seorang pengusaha kaya dari kota, melarang Paman
Doblo terlalu bermurah hati kepada penduduk sekitar. Dia hanya dibenarkan
memberikan limbah yang berupa kulit kayu kepada anak-anak. Selebihnya, harus
dikumpulkan karena bisa dijual ke pabrik kertas atau perusahaan pembuat
genteng.”
“Dan, Paman Doblo,
jatuh?”
“Pada mulanya dia tampak
tertekan. Namun, kemudian dia laksanakan juga keinginan majikannya. Perubahan
pada dirinya pun mulai tampak. Keramahan mulai surut dari wajahnya.
Kekhawatiran akan kehilangan terlalu banyak limbah membuat Paman Doblo selalu
mewaspadai, bahkan mencurigai setiap anak yang berada dekat kilang. Dan,
kejadian terakhir kemarin malah menyangkut anak lelaki saya yang baru
naik kelas 3 SD.”
“Anakmu mencuri limbah?”
“Tidak. Layang-layang
anak saya tersangkut kawat berduri di atas pagar tembok kilang. Ingat, andaikan
peristiwa itu terjadi dulu ketika kita masih anak-anak, Paman Doblo tentu akan
datang menolong sambil senyum.”
“Dan, terhadap anakmu
kemarin?”
“Paman Doblo datang
dengan langkah gopoh dan mata membulat sehingga anak saya lari ketakutan
hingga terkencing-kencing. Layang-layang anak saya diraihnya, lalu dirobek
hancur. Anak saya yang hanya berani melihat Paman Doblo dari jauh, menangis.
Nah, asal kamu tahu; ketika mendengar pengaduan anak saya, hati ini terasa
terobek-robek lebih parah, lebih hancur.”
Saya hanya bisa
mengerutkan alis karena tiba-tiba ada rasa pahit yang harus saya telan. Paman
Doblo kini tega merobek layangan anak-anak? Iya? Pertanyaan itu berputar
berulang-ulang karena sukar masuk ke dalam nalar.
“Kamu sudah bicara dengan
Paman Doblo?”
“Sudah. Saya merasa perlu
segera menemui dia untuk menjernihkan keadaan. Dan, yang paling penting, untuk
menyampaikan pertanyaan anak saya.”
“Anakmu bertanya apa?”
“Ah, pertanyaan seorang
bocah; apakah jadi satpam harus galak dan menyobek layangan anak-anak?”
“Dan, jawab Paman Doblo?”
Carik Simin tertawa.
Tetapi, matanya berkaca-kaca. Dia kelihatan begitu berat meneruskan
kata-katanya.
“Paman Doblo memang sudah
jauh berubah. Untuk menjawab pertanyaan anak saya, dia berkata sambil berkacak
pinggang. “Saya tidak hanya bisa merobek layang-layang. Saya juga bisa merobek
mulut orang tua atau anak-anak kalau dia membahayakan keamanan kilang atau
merugikan kepentingan pemiliknya.”
Cerita Carik Simin
membuat saya tercengang. Tergambar senyum getir pada bibir Carik Simin. Matanya
masih berkaca-kaca. Kekecewaan Carik Simin segera mengimbas ke dada saya.
Hambar. Sakit. Mendadak kecewa. Entahlah.
Atau, sebenarnya saya
merasa sangat berat menerima kenyataan, kini Paman Doblo bisa berbuat kasar. Ia
telah kehilangan keakraban dan kelembutannya, juga terhadap anak-anak. Saya
juga cemas apabila Paman Doblo merasa harus mewaspadai setiap anak, dia akan
kehilangan kemampuan berbaik sangka. Ah, apa yang bisa terjadi di kampungku
bila antara Paman Doblo dan orang-orang sekitar kilang tak ada prasangka baik
dan kasih sayang?
“Mas, pulang dan
bicaralah dengan Paman doblo,” kata Carik Simin dengan suara pelan dan parau.
“Kamu masih ingin anak-anak kita bilang, untung ada Paman Doblo, bukan?”
Permintaan Carik Simin
terdengar sebagai tekanan halus dari suara jernih seluruh anak-anak kampung
kami. Suara itu terus terngiang. Terbayang anak Carik Simin ketika dia berdiri
ketakutan, terkencing-kencing, dan air matanya berderai karena melihat
layang-layangnya dirobek dengan galak oleh Paman doblo. Ya. Tetapi, saya merasa
tak sanggup berbuat apa-apa. Tiba-tiba saya sadar, Paman Doblo kini sudah punya
posisi kuat dan dia telah mengambil jarak dari kami. Dia sudah sepenuhnya jadi
satpam kilang yang harus mewaspadai semua semua orang luar, tak terkecuali
anak-anak. Dan, bagi dia, anak-anak kampung tak lagi jadi prioritas utama untuk
dibela dan dilindungi melainkan keamanan kilang dan kepentingan pemiliknya. Ini
berarti anak-anak kami tak mungkin lagi bilang, untung ada Paman Doblo.
Terasa ada sengatan menghujam hati, sengatan yang membuatg saya bingung dan
merasa tak berdaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar