Kami
tidak menyangka akhirnya si Cepon, kerbau kami, rubuh di tengah sawah yang
hendak di bajak. Benar-benar rubuh tak berdaya. Badannya yang besar dan bulat
setengah terapung di atas lumpur. Keberingasannya yang kami kenal selama ini
lenyap. Barangkali sisa tenaganya habis buat meronta, memberontak dari
cengkeraman bajak yang membelenggu lehernya.
Keadaan si capon bertambah nista
dengan darah yang terus menetes dari kedua lubang hidungnya yang dipasang
kaluk, tali kekang yang menembus cingurnya. Romah muka si Cepon, terutama
matanya, bahkan ternyata bisa menunjukkan sikap pasrah total, suatu hal yang
terlambat diketahui oleh anak seorang petani: aku.
Tidak seperti pada tahun-tahun yang
lalu, musim penghujan kali ini dibuat pusing oleh si capon. Kerbau itu menjadi
binal. Ayah tak berhasil mengalungkan tali di lehernya apalagi memasangkan
bajak. Maka ayah berbuat sesuatu yang pasti dibenarkan oleh para petani di
kampung kami, memanggil Musgepuk untuk menjinakkan kembali si Cepon. Musgepuk
seorang laki-laki yang kuat dan bermuka kukuh sudah dikenal sebagai pawang bagi
segala macam ternak yang dipelihara para petani. Ironisnya, pagi ini kerbau
kami rubuh secara menyedihkan di tangan pawang itu.
“Hayo! Hiyah! Hiyyah!” teriak
Musgepuk. Tangan kirinya menggoyang-goyangkan tangkai bajak. Tangan kanannya
mengayunkan cambuk. Tetapi si Cepon tetap tak bergerak. Musgepuk mengulangi
teriakannya lebih keras. Tali kekang disentakkannya kuat-kuat. Cambuknya
melecut-lecut, menambah garis-garis memar di punggung si Cepon. Tetes.
“Ah.. ayo, Ayolah,” Musgepuk mencoba
mengubah seruannya dengan suara yang lebih santun dengan harapan si capon akan
menurut. Namun kali ini pun dia sia-sia. Kerbau itu tetap mengonggok tanpa
gerak. Kepalanya seperti terpaku mati pada leher. Seakan dia telah mendapat
pelajaran bahwa sedikit saja kepalanya bergerak berarti tali kaluh akan
menggesek luka pada sekat lubang hidungnya.
Musgepuk bersungut-sungut. Dan
uring-uringan. Semangatnya rontok. Aku, meskipun belum lama disunat, bisa
mengerti perasaannya. Perasaan seorang laki-laki kukuh yang kebanggaannya
sedang terancam. Kelebihannya sebagai pawang ternak sudah terkenal di seputar kampung.
Dan kebanggaannya itu akan rusak bila Musgepuk gagal mengatasi ulah si Cepon.
Dua hari yang lalu ketika datang
atas panggilan ayah, Musgepuk mulai menangani kerbau kami dengan tipu daya.
Mula-mula dibawanya sepikul daun tebu ke dalam kandang. Pada pintu kandang yang
sengaja setengah terbuka dipasangnya tali besar sebagai jerat. Musgepuk dengan
jitu berhasil membuktikan kepada kami bahwa dia lebih pintar dari si Cepon.
Kerbau kami terjerat. Dan meskipun pagar kandang berantakan, si Cepon gagal membebaskan
diri. Bahkan akhirnya dia jatuh terguling ketika Musgepuk, dengan jerat yang
kedua, berhasil membelenggu kaki belakangnya.
Dalam keadaan terguling di tanah,
kerbau kami tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kemudian Musgepuk juga mengikat
kedua kaki depannya. Juga sepasang tanduknya disatukan dengan kuat pada tonggak
pemasung. Si capon yang murka hanya bisa mendengus-dengus. Matanya merah,
Musgepuk mutlak sudah menguasainya.
“Nah, lihatlah,” ujar Musgepuk
sambil berdiri menghadap orang-orang yang menontonnya. “Aku seorang diri telah
berhasil menangkap si Cepon dan merebahkannya. Seorang diri!”
Para penonton, termasuk aku dan
ayah, mengangguk bersama. Entahlah, padahal aku sendiri tak mengerti mengapa
aku ikut mengangguk. Setuju atas cara Musgepuk melumpuhkan si Cepon! Tidak,
rasanya memang tidak. Boleh jadi kami terkesima karena kerbau kami yang perkasa
telah terkalahkan.
“Ya,
Musgepuk,” kata ayah. “Tapi tugas sampean yang sebenarnya adalah membuktikan
bahwa si Cepon bisa diambil tenaganya untuk membajak. Dan hal itu belum
terlaksana.”
“Oh, itu gampang. Gampang! Sampean
akan melihat nanti si Cepon yang baru kujinakkan ini akan menggarap sawah
sampean dengan gampang. Empat petak sawah sampean akan diselesaikannya dalam
waktu setengah hari. Percayalah!”
Bertentangan dengan perasaanku,
orang-orang kembali mengangguk-angguk, membuat Musgepuk makin bergairah.
Diinjaknya pantat si Cepon karena kerbau kami itu membuat gerakan-gerakan
meronta.
Masih dengan sebuah kakinya
menginjak pantat si Cepon, Musgepuk mulai meraut serpih bambu yang sejak tadi
dipegangnya. Serpih bambu it uterus dirautnya hingga runcing seperti jarum
besar lengkap dengan lubang di pangkalnya. Seutas tali ijuk sebesar lidi
dimasukkannya pada lubang jarum bambu itu.
“Tunggu,” seru Ayah, “Jadi sampean
hendak memasang kaluh?”
“Ya, kenapa?”
“Tidak cukup dengan hanya tali
kekang biasanya?”
“Memang, banyak kerbau yang bisa
dikendalikan dengan tali kekang biasa. Tetapi buat si Cepon terang tidak
cukup,. Hidungnya harus dicucuk kaluh. Ah, untuk urusan seekor kerbau, akulah
yang lebih tahu. Kalau tidak demikian, mengapa aku sampean undang kemari?”
Kulihat Ayah memaksakan dirinya
untuk bungkam. Namun garis-garis samar pada wajah Ayah bisa kubaca. Aku tidak
suka melihat darah. Memang ayahku tidak suka melihat darah. Sehingga Ayah
selalu mencari orang lain bila Emak menyuruhnya memotong ayam. Nah, tak lama
lagi kami akan melihat pekerjaan berdarah. Barangkali Ayah menyesal telah
menyerahkan si Cepon kepada Musgepuk. Entahlah.
Beberapa orang perempuan
menunujukkan rasa ngeri melihat jarum besar serta tali ijuk di tangan.
Musgepuk, mereka menguncupkan bahu dan menutup wajah dengan telapak tangan.
Terdengar suara-suara mendesis pertanda nista. Tetapi suara itu justru membuat
Musgepuk makin bertingkah.
“Lha, lihat,” kata Mugepuk sambil
mendekat kea rah seorang perempuan. “Yang hendak kutusukkan ini bukan apa-apa,
melainkan sekadar bambu. Yang hendak kutusuk juga bukan apa-apa melainkan
sekadar cingur kerbau dungu. Dasar perempuan. Apa yang membuat kau merasa
ngeri?”
Wajah perempuan itu berubah masam.
Musgepuk tertawa lebar karena merasa sayap kata-katanya sampai kepada sasaran
dengan telak. Dia makin bergairah. Musgepuk kelihatan sadar betul bahwa dia
berada pada saat yang tepat, yang jarang terjadi, untuk lebih menonjolkan
kelebihannya. Dalam hal ini, kelebihan Musgepuk adalah kemampuannya
melipatgandakan rasa tega sambil menghapus bersih rasa iba. Dan kami para
penonton melihat dengan jelas bahwa Musgepuk sungguh menikmati kesempatan itu.
Jadi, sementara semua orang menahan
rasa karena akan melihat darah mengucur dari hidung si Cepon, Musgepuk malah
bermain-main, tepatnya mempermainkan perasaan orang. Dia, dengan ulah seperti
anak kecil mendapat mainan, bersiap memasang kaluh. Sambil tertawa kecil, dan
ini ku kira dilakukannya buat menunjukkan kelebihannya dalam hal menumpas raa
kasihan, Musgepuk menusukkan jarum bambunya pada cingur si Cepon.
Hasil permainan Musgepuk segera
terlihat. Darah mengucur membasahi tangannya. Tubuh si Cepon meregang.
Melenguh-lenguh dan meronta sia-sia. Ekornya mengibas memukul-memukul bumi.
Telinganya berputar sebagai baling-baling. Tetapi yang menjadikan perempuan
memekik adalah semburan kencing dari kubul si Cepon. Disusul dengan
gumpalan-gumpalan tinja yang terdorong keluar melalui duburnya.
Terbukti Musgepuk bersyaraf tangguh.
Tangannya terus bekerja. Tak peduli apa pun. Tidak juga air mata si Cepon yang
kelihatan mengambangketika tali ijuk yang kasar menggesek luka yang masih
segar. Bahkan Musgepuk menarik tali yang menyangkut luka itu ke belakang buat
mengukur ketegangannya sebelum membuat simpul mati di antara kedua tanduk
kerbau kami.
Tak ada manusia yang merasa lebih
puas daripada dia yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya.
Musgepuk telah membuktikan dengan gerakan dirinya sebagai seorang pawang. Dia
lebih perkasa daripada si Cepon. Dia merasa bangga dengan kelebihannya.
Adalah si Cepon yang tergolek dan
setengah mengapung di atas lumpur dua hari kemudian. Atau, apakah yang
mengonggok itu masih layak disebut seekor kerbau bila dia nyaris kehilangan
kepentingannya untuk bereaksi. Dia membiarkan puluhan lalat merubung darah yang
mengental di kedua lubang hidungnya. Ekornya tidak lagi mengibas mengusir agas
yang mengusik belur-belur luka di kulit dan menaruh telur di sana. Seekor
lintah berenang dengan gerakan vertikal mendekat dan perlahan-lahan melekatkan
dirinya pada kulit leher si Cepon. Langau pun mulai berdatangan dengan satu
tujuan; hinggap pada kulit kerbau kami dan mengisap darahnya sepuas hati.
Aku dan Ayah berdiri agak jauh dari
pematang. Kami melihat Musgepuk menggeleng-gelengkan kepala. Sebelum
melampiaskan keputusasaannya, dia sekali lagi mengayunkan cambuk dan menyentak
tali kekang. Si Cepon yang hanya mengedipkan mata tepat ketika tali cambuk
merapat di kulitnya. Atau tepat ketika tali kekang menyentak ke belakang.
Di bawah matahari yang mulai panas,
aku dan ayah menyaksikan Musgepuk menjatuhkan pundak lalu pergi meninggalkan si
Cepon tanpa bicara sedikit pun. Aku menoleh pada ayah dan beliau hanya
mengangguk-anggukan kepala. Boleh jadi ayah kecewa karena sawahnya gagal
dibajak atau karena si Cepon rubuh dan menyedihkan. Atau kedua-duanya. Manakah
yang benar aku tak mengerti. Dan aku lebih tak mengerti lagi kata-kata ayah yang
kemudian diucapkannya.
Musgepuk jadi tak berdaya justru
setelah Cepon rubuh dan tak mau melawannya. Di hadapan mata kerbau yang hanya
bisa berkedip-kedip. Musgepuk kehilangan arti dan nilainya. Dia bukan apa-apa.
Terima kasih sudah berbagi cerpen karya Ahmad Tohari. Saya juga salah satu penyuka beliau. Salam sehat luar dalam.
BalasHapuso. Ada baiknya sumber tulisan disebutkan, misal: pernah dimuat di media apa