KANG SARPIN MINTA DIKEBIRI
Karya : Ahmad Tohari
KANG Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul enam tadi
pagi. Ia sedang dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban
sekuintal beras melintang pada bagasi. Para saksi mengatakan, ketika
naik dan hendak mulai mengayuh, Kang Sarpin kehilangan keseimbangan.
Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang.
Lelaki usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan
jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah, dan ia tewas seketika. Satu lagi
penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih dulu
meninggal dengan cara sama.
Beban sekarung beras pada bagasi dan terkadang sekarung kecil lainnya
pada batangan adalah risiko besar bagi setiap penjual beras bersepeda.
Tetapi mereka tak jera. Setiap hari mereka membeli padi dari petani,
kemudian mengolahnya di kilang lalu menjual berasnya ke pasar. Mereka
tak peduli sekian teman telah meninggal menjadi bea jalan raya yang
kian sibuk dan kian sering minta tumbal nyawa.
Berita tentang kematian itu sampai kepada saya lewat Dalban, ipar Kang
Sarpin sendiri. Ketika menyampaikan kabar itu Dalban tampak biasa saja.
Wajahnya tetap jernih. Kata-katanya ringan. Mulutnya malah
cengar-cengir. Entahlah, kematian Kang Sarpin tampaknya tidak menjadi
kabar duka.
Di rumah Kang Sarpin saya telah melihat banyak orang berkumpul.
Jenazah sudah terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tetapi tak
terasa suasana duka cita. Wajah para pelayat cair-cair saja. Mereka
duduk santai dan bercakap sambil merokok seperti dalam kondangan atau
kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di
mana-mana melayang seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa. Di
rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada duka cita atau bela sungkawa.
Kalaulah ada seorang bemata sembab karena habis menangis, dialah istri
Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.
Setelah menaruh uang takziyah di kotak amal saya mencari kursi yang
masih kosong. Sial. Satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di
sebelah Dalban. Ipar Kang Sarpin masih ngoceh tentang si mati. Dan saya
tak mengerti mengapa omongan si Dalban seperti menyihir para pelayat.
Orang-orang tampak tekun menikmati cerita tentang almarhum dari mulut
nyinyir itu.
“Ya, wong gemblung itu sudah meninggal,” kata Dalban dengan enak. Wajahnya tampak tanpa beban.
“Bagaimana aku tak menyebut iparku wong gemblung.
Coba dengar. Suatu ketika di kilang padi, orang-orang menantang Sarpin:
bila benar jantan maka dengan upah lima ribu rupiah dia harus berani
membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin? Tanpa
pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya
bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin
berayun-ayun, dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang
dijanjikan.”
Cerita Dalban terputus oleh gelak tawa orang-orang. Dan Dalban makin bersemangat.
“Ya, orang-orang hanya nyengir dan mengaku kalah. Malu dan sebal.
Sialnya mereka harus mengumpulkan uang lima ribu. Tetapi Yu Cablek,
penjual pecel di kilang padi yang melihat kegilaan Sarpan berlari sambil
berteriak, ‘Sarpin gemblung, dasar wong gemblong!’’’
Orang-orang tertawa lagi. Dan jenazah Kang Sarpin terbujur diam dalam
keranda hanya beberapa langkah dari mereka. Saya mengerutkan alis. Ah,
sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan
bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi
diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat
orang sekampung mengerutkan alis karena tak habis pikir. Kang Sarpin
sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutupi-tutupinya. Dia
dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan. “Saya
selalu tidak tahan bila hasrat birahi tiba-tiba bergolak,” kata Kang
Sarpin suatu saat.
“Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga,” cerita Dalban lagi. “Meski gemblung
dia berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih,
jangan ditanya; yang tua pun dia mau. Dan hebatnya lagi dia juga tak
pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun batin.”
***
DALBAN
terus ngoceh dan orang-orang tetap setia mendengar dan menikmati
ceritanya. Saya juga ikut mengangguk-angguk. Tetapi saya juga merenung.
Sebab tadi malam, kira-kira sepuluh jam sebelum kematiannya Kang Sarpin
muncul di rumah saya. Di bawah lampu yang tak begitu terang wajahnya
kelihatan berat. Ketika saya tanya maksud kedatangannya, Kang Sarpin tak
segera membuka mulut. Pertanyaan saya malah membuatnya gelisah. Namun
lama-kelamaan mulutnya terbuka juga.
Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas. “Mas, saya sering bingung. Sebaiknya saya harus bagaimana?”
“Maksud Kang Sarpin?”
“Ah, Mas kan tahu saya orang begini, orang jelek. Wong gemblung.
Doyan perempuan. Saya mengerti, sebenarnya semua orang tak suka kepada
saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung akan lebih senang bila saya
tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.”
“Kang, semua orang sudah tahu siapa kamu,” kata saya sambil tertawa.
“Dan ternyata tak seorang pun mengusikmu. Lalu mengapa kamu pusing?”
“Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah, masa-iya, saya
akan terus begini. Saya ingin berhenti menjadi aib kampung ini. Lagi
pula sebentar lagi saya punya cucu. Saya sudah malu jadi wong gemblung. Saya sudah ingin jadi wong bener, orang baik-baik. Tetapi bagaimana?”
“Yang begitu kok Tanya saya? Mau jadi orang baik-baik, semuanya
tergantung Kang Sarpin sendiri, kan? Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau
mau tetap gemblung, ya terserah.”
“Tidak! Saya ingin berhenti gemblung.
Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul. Mengubah tabiat ternyata
tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang ke mari.”
Saya pandangi wajah Kang Sarpin. Matanya menyorotkan keinginan yang sangat serius. Anehnya, saya gagal menahan senyum.
“Bila Kang Sarpin bersungguh-sungguh ingin jadi wong bener, kenapa tidak bisa? Seperti saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan?”
“Sulit Mas,” potong Sarpin dengan mata berkilat-kilat. “Saya sungguh tak bisa!”
“Kok? Tidak bisa atau tak mau?”
“Tak bisa.” Kang Sarpin menunduk dengan menggeleng sedih.
“Lho, kenapa?”
“Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho,
Mas! Burung saya; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia
tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung sama
sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di
mana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu
dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain
kecuali menuruti apa maunya.
“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”
Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia
sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan
senyum. Kang Sarpin tersinggung.
“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”
Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.
“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan
saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus
dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau
mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”
Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.
“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”
“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain.
Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam
aduannya. Saya kira, sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu
bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besuk,
sehabis menjual beras ke pasar ….”
“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata
saya. “Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau
mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong
kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”
Wajah Kang Sarpin perlahan mengendur. Pundaknya turun dan napasnya
lepas seperti orang baru menurunkan beban berat. Setelah menyalakan
rokok Kang Sarpin menyandarkan ke belakang. Tak lama kemudian, setelah
minta pengukuhan janji saya untuk mengantarnya ke dokter, Kang Sarpin
minta diri. Saya mengantarnya sampai ke pintu. Ketika saya berbalik
tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala; apakah Kang Sarpin adalah
lelaki yang disebut cucuk senthe? Di kampung ini cucuk senthe
adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan birahi meledak-ledak dan
liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikan diri.
Entahlah.
***
SAYA
tersadar ketika semua orang bangkit dari tempat duduk masing-masing.
Rupanya Modin yang akan memimpin upacara pelepasan jenazah sudah datang.
Bahkan keranda sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri di tengah
halaman. Kini suasana hening. Dalban yang sejak pagi terus ngoceh, juga
diam.
Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua
yang hadir. Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang
piutang dengan Kang Sarpin untuk segera menyelesaikannya dengan para
ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan tradisi kampung
kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak
dikubur.
“Saudara-saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah orang baik-baik?”
Hening. Orang-orang saling berpandangan dengan sudut mata. Saya melihat
Dalban menyikut lelaki di sebelah. “Bagaimana? Sarpin itu tukang main
perempuan. Apa harus kita katakan dia orang baik-baik?”
Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh,
serba salah. Maka Modin mengulang pertanyaannya, apakah yang hendak
dimakamkan adalah jenazah orang baik-baik. Sepi. Anehnya tiba-tiba saya
merasa mulut saya bergerak.
“Baik!”
Suara saya yang keluar serta merta bergema dalam kelengangan. Saya
melihat semua orang juga Modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah,
saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka dengan senyum.
Keranda bergerak bersama langkah empat lelaki yang memikulnya. Bersama
orang banyak yang berjalan sambil bergurau, saya ikut mengantar Kang
Sarpin ke kuburan. Saya tak menyesal dengan persaksian saya. Di mata
saya seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita jadi wong bener adalah orang baik. Entahlah bagi orang lain, entah pula bagi Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar