Kasdu
terus berjalan. Lepas dari perkampungan dia menapaki jalan sempit yang membelah
perbukitan. Kiri-kanan jalan adalah tebing dengan cadasnya yang kering-renyah
berbongkah-bongkah. Kala musim hujan, jalan itu adalah sebuah kali yang
mengalirkan air dengan deras dari puncak bukit. Air yang keruh meluncur dari
atas menggerus tanah, sehingga jalan itu makin lama makin dalam.
Akar-akaran
menggantung pada tebing jalan itu. Menggapai-gapai seperti cakar-cakar mati
yang ingin meraih tanah. Tetapi tanah makin menjauh, makin terkikis, dan
longsor-longsor. Pepohonan yang telah kehilangan pegangannya di dalam tanah
menjadi c6ndong atau tumbang sama sekali.
Langkah
Kasdu yang cepat diiringi suara “krepyak-krepyak”; bunyi dedaunan kering yang
remuk terinjak. Matahari, yang sudah hampir mencapai pucuk langit. Permainannya
mengakibatkan kayu-kayu menjadi layu dan kering. Pelepah-pelepah pisang runduk.
Amparan ilalang mengelabu. Rumput-rumput menyimpan tetes air terakhir dalam
akar mereka di dalam tanah.
Di
bawah matahari wajah Kasdu kelihatan semakin keras. Alis mata menyembunyikan
sorot yang berat. Wajah Kasdu memperlihatkan bekas-bekas tempaan yang pahit.
Dia kelihatan begitu tua. Padahal tahun hidupnya belum mencapai jumlah dua
puluh.
Pebukitan
di kiri-kanan. Kasdu adalah tumpukan besar cadas dan batu-batu kapur. Perdu
yang mengering serta ilalang bergerombolan disana-sini. Atau tonggak dan kayu
amti mencuat, membuat pesan kerontang makin membulat. Ada beberapa anak
laki-laki berkulit kering dan kelabu. Mengumpulkan sisa dahan dan ranting kayu
buat kayu bakar. Beberapa anak yang lain sedang menggali tanah yang membatu,
mencari sisa-sisa ubi gadung.
Rasa
haus mulai menggit tenggorokan Kasdu. Dia baru sadar; sejak pagi hari perutnya
belum diisi apapun. Ah, Kasdu ingat di depan sana, di bawah sebatang
pohonangsana yang besar ada mata air yang jernih. Dia akan menghilangkan rasa
dahaganya di sana. Langkahnya dipercepat.
Di
depan ceruk tanah yang biasa menampung mata airitu, Kasdu berdiri bisu. Tak ada
air barang setetes. Ceruk itu penuh dengan daun angsana kering. Pohon iu
sendiri meranggas hampir gundul. Kasdu tak bisa berbuat lain kecuali menelan
liur sendiri yang telah pekat dan meneruskan perjalanan yang masih jauh.
Menyertai
langkah-langkahnya yang mulai melambat, Kasdu teringat akan Minem, istrinya.
Dan teringat akan kesalahan sendiri yang menyebabkan Minem kini terbaring di
atas balai-balai. Seorang bayi sebesar lengan tergolek tak berdaya di
sampingnya.
Bayi
itu kecil, kecil sekali. Kasdu merasa sukar percaya bahwa sesuatu yang bergerak
lemah dan bersuara nyaris miring anak kucing itu adalah seorang bayi yang bisa
menjadi manusia. Lebih sulit d5terima oleh akal Kasdu, bahwa bayi kecil itu
tidak lain adalah darah-dagingnya sendiri.
Mestinya
Minem tidak perlu melahirkan bayinya pada hari itu. Bukan karena Minem baru
empat belas tahun. Tetapi karena usia kandungannya belum genap tujug bulan,
demikian pikiran Kasdu yang mengusik selama perjalanannya. “Mestinya Minem beranak
kelak dua bulan yang akan datang apabila kemarin aku tidak malas mengambil air
keseberang desa,”Sesal Kasdu tak habis-habisnya.
Tetapi
bayi sebesar lengan itu terpaksa terhempas dari rahim si Minem ketika Minem
terjatuh selagi membawa tembikar penuh air. Kakinya tergelincir disebuah
tanjakan dan Minem terguling-guling ke bawah. Tembikar yang dibawahnya pecah,
airnya menyiram tanah yang sudah lama kerontang. Minem yang kelenger dipapah
orang pulang ke rumah. Air ketuban sudah membasahi kainnya. Dukun bayi yang
diundang kemudian mengatakan, bayi minem sudah turun. Benar, beberapa jam
kemudian Minem mengeluarkan anaknya yang pertama; seorang bayi kecil yang
bersuara mirip kucing.
Kasdu
melihat sendiri ketika Minem telentang dengan kedua lututnya yang terlipat.
Mukanya merah padam dan napasnya tersengal. Orang-orang perempuan yang
berpengalaman member petunjuk kepada Minem, bagaimana mengambil sikap hendak
melahirkan. Dari mulut mereka terdengar dengung puji-puji keselamatan.
Masih
terkesan amat dalam di hati Kasdu bagaimana Minem menyeringai menahan sakit.
Bagaimana dia menutup saluran napasnya, kemudian mengerutkan urat-urat perut
agar jabang bayi terdorong ke luar. Sesudah bayi kecil itu keluar, Minem diam
tak bergerak. Wajahnya yang begitu pasi basah oleh keringat. Minem terus diam. Hanya
denyut nadinya yang lemah menandakan dia tidak mati. Namun entahlah, karena
Minem dan bayinya yang begitu kecil kelihatan sangat lemah. Dan Kasdu sungguh
tidak mampu menolak datangnya kekhawatiran yang mempertanyaka keselamatan Minem
maupun anaknya.
Kini
Kasdu dalam perjalanan ke rumah mertuanya hendak melaporkan perihal Minem.
Bagaimana tanggapan mertuanya nanti adalah tanda Tanya besar yang sedang
menggalau hati Kasdu. Senang karena mendapat cucu? Atau marah besar karena
Minem melahirkan terlalu dini akibat kemalasan suami mengambil air keseberang
desa? Apabila hal terakhir ini yang akan terjadi, Kasdu akan menjadi debu.
Sudah terbayang oleh Kasdu urat-urat rahang mertuanya yang meregang, yang
kelihatannya mampu meremuk batu gunung diantara jepitan gerahmnya. Atau
jemarinya yang kokoh yang mungkin akan segera melayang kea rah jidatnya.
Tidak
tahu. Sungguh, Kasdu tidak tahu mana yang bakal terjadi. Seperti dia juga tidak
tahu mengapa perkawinannya dengan Minem mesti menghasilkan seorang bayi yang
sungguh kecil itu. Seperti dia juga tidak tahu apakah Minem dan si kecil itu
kini masih hidup. Minem ktika ditinggalkannya, kelihatan memelas. Berbeda jauh
dengan penampilannya di hari-hari biasa yang begitu segar dan hidup. Anaknya
hanya bergerak-gerak lelah seperli ulat yang kena sengat tabuan.
Makin
dekat ke rumah mertuanya, langkah-langkah Kasdu makin lambat. Bukan hanya
karena lelah, tetapi terutama karena rasa bimbang yang mulai merayapi hati
Kasdu. Sekali Kasdu berhenti berjalan, berdiri termangu-mangu. Dia tergoda
untuk berbalik karena tiba-tiba dia merasa enggan berhadapan dengan mertua yang
mungkin akan memarahinya. Tetapi keraguan itu hanya sesaat mengendap dalam hati
Kasdu. Kakinya kembali terayun meneruskan perjalanan.
Perjalanan
di bawah mataharai itu berakhir ketika Kasdu memasuki pekarangan rumah
mertuanya. Berhenti sejenak buat menyeka peluh di dahi dengan ounggung tangan,
kemudian Kasdu menarik pintu depan. Deritanya terdengar bersama salam: kula nuwun!
Tanpa
menunggu siapa pun Kasdu duduk. Dia ingin meredakan napas. Namun jantungnya
malah berdenyut lebih cepat. Dan Kasdu gagal menyembuyikan kagetnya ketika
mertuanya muncul. Mertua prempuan menyususl sambil membopong bayi yang masih
merah.
“Lha,
kamu datang? “ sambut mertua laki-laki.
“Sendiri?
Tidak bersama Minem?” sambung mrtua mertua perempuan.
“Ya,
mak. Saya datang sendiri,” jawab Kasdu. Bibirnya bergetar. Kebimbangan yang
muncul di wajahnya sempat tersimak oleh mertu perempuan.
“He,
kau sangat pucat Kasdu, kau sakit?”
“Tidak,
mak. Aku Cuma haus.”
“Tunggu.
Aku ambil air untukmu.”
Sesudah
minum segelas air, Kasdu masih pucat. Sikapnya canggung dan gamang. Mertua
laki-laki merasa perlu bertanya agak keras.
“Apa
tujuanmu datang kemari? Ada urusan penting?”
“Ya,
penting pak.”
“Apabila
penting mengapa kau celala-celili begitu?”
“Anu,
pak. Anu, Minem.”
“Bagaimana
si Minem?”ujar mertua perempuan memburu. “Minem sakit?”
“Tidak,
mak. Minem anu… melahirkan. Minem sudah melahirkan.”
Dengan
rasa tak menentu Kasdu menunggu tanggapan kedua orang mertuanya. Dilihatnya
bagaimana suami-isteri itu saling berpandangan dengan mulut terbuka. Beberapa
saat lamanya keadaan mereka tetap demikian. Akirnya mertua perempuan memutar
badannya. “Wah, kang. Kau menjadi seorang kakek, dan aku menjadi nenek.” Dan
mertua laki-laki kurang terkesan oleh kata-kata istrinya.
“Nanti
dulu, Kasdu. Si Minem sudah beranak?”
“Benar,
pak.”
“Nanti
dulu! Apa yang dikeluarkannya?”
“Ya
bayi, pak,”jawab Kasdu lugu.
“Soalnya,
istriku baru melahirkan kemarin dulu. Dia, istriku itu, sudah berusia 29 tahun,
jadi layak melahirkan seorang bayi. Sedangkan Si Minem masih seorang bocah. Betulkah
seorang bocah mengeluarkan bocah lagi? Astaga! Aku belum percaya si Minem melahirkan
bayi. Jangan-jangan cuma daging atau telur.”
“Betul.
Minem beranak bayi. Memang sangat kecil karena belum lagi tujuh bulan masa
kandungannya,” kata Kasdu mulai dengan kata-kata yang lancer. “Bayi kecil itu
perempuan.”
Mertua
perempuan menarik tangan suaminya. Bisik-bisiknya bisa terdengar oleh Kasdu.
“Kau jangan banyak omong, kang. Kau lupa, Minem sendiri dilahirkan ketika aku
juga baru berusia emapt belas tahun?”
“Ya,
ya. Toh aku masih tetap merasa heran; bukan hanya perempuan dewasa, melainkan
juag perempuan yang masih bocah bisa melahirkan seorang bayi.”
Entahlah.
Boleh jadi mertua laki-laki itu sungguh-sungguh merasa heran, tetapi pada saat
yang sama dia tersenyum karea bulan depan aka nada hajat lagi di rumahnya. Kali
ini Minah, adik Minem yang berusia dua belas tahun akan memperoleh suami.
“Anak-anakku memang laris,”kata mertua laki-laki didalam hati. Bangga dia.
Bagus ceritanya..banyak pesan yang terkandung ei dalamnya
BalasHapusMenarik, ceritanya juga bagus.
BalasHapusmengingatkankampunghalaman
BalasHapus