Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul
Kartawi menghunjam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Debu tanah
kapur memercik. Pada setiap detik yang sama Kartawi merasa ada sentakan
keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya. Dan petani muda
itu terus mengayun cangkul. Maka suara yang kering-tajam, percikan debu
dan sentakan-sentakan otot terus runtut terjadi di bawah matahari
kemarau yang terik. Kaos oblong yang dipakai Kartawi sudah basah oleh
keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga ke lutut. Dan di bawah
bayangan caping bambu yang dipakainya, wajah Kartawi tampak lebih tua
dan berdebu.
Ketika lajur garapan mencapai batas tanahnya, Kartawi
berhenti mengayun cangkul. Petani itu tegak dan diam. Ia ingin
mengembalikan tenaga dengan memompakan udara dari paru-paru ke segenap
otot-ototnya. Kedua matanya menyipit dan menerawang datar ke depan. Di
hadapannya, sejauh mata memandang, adalah wajah kemarau yang menghampar
di atas dataran tanah berkapur. Rumput dan perdu
kehilangan hijaunya. Pepohonan meranggas dan ratusan hektar tanah
tegalan itu kerontang. Lereng bukit kapur jauh di utara menjadi dinding
warna kelabu dengan bercak-bercak putih; bisu dan tandus. Dari kejauhan
udara di atas permukaan tanah tampak berpendar. Sementara di langit yang
kosong burung layang-layang beterbangan dalam kelengangan.
Kedua mata Kartawi masih menerawang ke
depan. Dari latar belakang permukaan bumi yang berpendar itu tiba-tiba
Kartawi melihat citra Jum, istrinya. Entahlah, tiba-tiba Kartawi merasa
ada tekanan menusuk dadanya, ada segumpal sabut kelapa mengganjal
kerongkongannya. Otot-ototnya terasa kehilangan tenaga. Jemari yang
menggenggam gagang cangkul mengendur. Kepalanya pun tertunduk. Kartawi
menarik nafas panjang, kemudian berjalan lesu meninggalkan lajur garapan
menuju tempat teduh di bawah pohon johar. Petani muda itu mendadak
kehilangan semangat bekerja.
Kartawi berdiri dalam keteduhan pohon johar
yang masih mempertahankan daun-daun terakhir. Sosok Jum masih tampak
jelas dalam rongga matanya, melayani tetangga yang membeli cabai, bumbu
masak, atau ikan asin. Atau segala macam kebutuhan dapur para petani
tetangga. Jum yang segar dan kuat. Jum yang punya hasrat besar punya
rumah tembok, televisi, dan sepeda motor bebek. Dan demi cita-cita itu
Jum merasa tak punya jalan kecuali bekerja keras dan mau menempuh segala
upaya agar warungnya maju dan laris.
***
Kartawi tahu segalanya tentang Jum sejak istrinya itu
masih ingusan. Ketika bocah, Jum paling betah main warung-warungan.
Dalam permainan itu Jum selalu bertindak sebagai pemilik warung dan
semua temannya diminta berperan sebagai pelanggan. Jum bisa betah sehari
suntuk dalam permainan yang sering dilakukan di bawah pohon nangka di
belakang rumahnya itu.
Setelah menjadi isteri Kartawi, maka Jum
tidak minta apa-apa kecuali dibuatkan warung yang sebenarnya. Kartawi
menurut karena suami itu memang amat sayang kepada Jum. Maka Kartawi
menjual dua ekor kambing dan menebang beberapa pohon, satu di antaranya
pohon bacang. Mengapa bacang, adalah karena usul Jum. Kata Jum yang
telah tahu ngelmu perwarungan, harus ada kayu dari pohon
buah-buahan dalam bangunan warung. ”Kang, kata orang-orang tua, kayu
dari pohon buah-buahan bisa memancing selera pembeli,” kata Jum dulu
kepada suaminya. Kartawi hanya menjawab dengan senyum dan dua hari
kemudian berdiri sebuah warung kecil di depan rumah pasangan muda itu.
Warung Jum langsung hidup. Jum tampak tekun
dan gembira dengan warungnya. Mungkin Jum berpendapat, hidup baginya
tidak bisa berarti lain kecuali membuka warung. Dengan warung itu Jum
terbukti mampu mengembangkan ekonomi rumah tangga. Pada tahun ketiga,
sementara dua anak telah lahir, Jum berhasil meraih salah satu
keinginannya, memiliki rumah tembok. Tahun berikutnya ia sudah punya
televisi hitam putih 14 inci. Kini giliran sepeda motor bebek yang ingin
diraih Jum. Dan Kartawi sepenuhnya berada di belakang cita-cita
istrinya itu. Soalnya sederhana: punya istri yang pergi kulak
dagangan naik sepeda motor milik sendiri adalah prestasi yang sulit
disamai oleh sesama petani di kampungnya. Pokoknya Kartawi merasa jadi
lelaki beruntung karena punya istri Jum.
Tetapi mengapa sejak beberapa hari terakhir
ini Kartawi mendengar selentingan para tetangga tentang Jum. Entah dari
mana sumbernya para tetangga mengembangkan cas-cis-cus bahwa Jum pekan lalu tanpa setahu suami pergi mengunjungi Pak Koyor, orang pandai, dari kampung sebelah. Orang bilang Jum pergi ke sana demi memperoleh penglaris bagi warungnya. Soal mencari penglaris
Kartawi maklum bahkan setuju. Ya, Kartawi memang percaya, meraih
cita-cita tidak cukup dilakukan dengan usaha nyata. Namun masalahnya cas-cis-cus para tetangga mengembang lebih jauh; bahwa Jum telah memberikan penajem kepada Pak Koyor. Kartawi tahu penajem, yaitu syarat yang harus diberi kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil, bisa berupa uang, ayam cemani atau bahkan tubuh pasien sendiri. Dan para tetangga bilang, Jum telah memberikan yang terakhir itu kepada sang dukun.
***
Masih berdiri di bawah pohon johar, Kartawi kembali
merasa dadanya tertekan keras. Dalam hati Kartawi berharap selentingan
para tetangga itu Cuma omong kosong. Mungkin mereka iri karena melihat
warung Jum laris sehingga mereka sengaja meniupkan cerita macam-macam,
pikir Kartawi. Tetapi bagaimana bila benar Jum telah memberikan tubuhnya
sebagai penajem kepada Koyor? Rasa sakit kembali menusuk dada
Kartawi lebih keras. Kartawi meresa dirinya terayun-ayun dalam
ketidakpastian yang sangat menyiksa.
Karena sadar hanya Jum sendiri yang bisa
memberinya kejelasan, Kartawi mwmutuskan segera pulang meskipun hasil
kerja siang itu sama sekali belum memadai. Berteman bayang-bayangnya
sendiri, Kartawi melangkah mengikuti jalan tikus yang membelah tegalan.
Cangkul membujur di atas pundak dan tempat minuman dalam jinjingannya.
Pada sebuah simpang empat kecil, lelaki itu berbelok ke arah timur.
Suara dedaunan kering yang remuk terinjak mengiringi setiap langkah
petani muda itu.
Ketika sampai di rumah, Kartawi melihat Jum
sedang melayani beberapa pembeli. Sebenarnya Kartawi hampir tak tahan
meniunggu sampai Jum punya peluang untuk diajak bicara. Namun ternyata
suami yang sedang memendam kejengkelan itu harus bisa menahan diiri
sampai sore, malah malam hari. Selagi masih ada orang terjaga, Jum harus
siap melayani mereka. Bahkan sesudah warung ditutup pun tak jarang ada
pembeli mengetuk pintu.
Maka pertanyaan tentang benar tidaknya cas-cis-cus
para tetangga itu baru bisa diajukan oleh Kartawi ketika malam sudah
larut. Anak-anak pun sudah lama tertidur. Dan Jum saat itu yang sedang
duduk menikmati televisi tampak tak berminat menanggapi pertanyaan
suaminya. Kartawi bangkit dan mematikan TV, lalu duduk kembali dan
mengulang pertanyaannya dengan tekanan lebih berat.
”Ya, Kang, pekan lalu saya memang pergi kepada Pak Koyor,” dengan gaya tanpa beban. ”Setiyar Kang, supaya warung kita tetap laris. Kamu tahu Kang, sekarang sudah banyak saingan.”
Kartawi menelan ludah. Ia merasa ada
gelombang pasang naik dan menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Di
bawah cahaya lampu listrik 10 watt wajahnya tampak sangat berat. ”Dan
Kamu memberi dia penajem? Iya?” tanya Kartawi. Suaranya dalam dan
makin berat. Tatapan matanya menusuk mata istrinya. Jum hanya sekejap
mengangkat muka, lalu tertunduk. Dan tersenyum ringan. Wajahnya pun
kembali cair. ”Kang, Kamu ini bagaimana? Soal memberi penajem itu kan biasa. Jadi ...”
”Jadi betul Kamu...” Tangan Kartawi meraih
gelas yang seperti hendak diremukkannya dalam genggaman. Otot yang
mngikat kedua rahangnya menggumpal. Matanya menyala. Jum menyembunyikan
wajah karena mengira Kartawi akan memukulnya, Tidak, ternyata Kartawi
bisa menahan diri meski seluruh tubuhnya bergetar menahan marah.
”Kang,” ujar Jum setelah suaminya agak
kendur. ”Dengarlah, saya mau bicara.” Jum berhenti dan menelan ludah
yang tiba-tiba terasa lebih pekat. ”Yang saya berikan kepada Pak Koyor
bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya Cuma main-main, Cuma pura-pura, Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling.
Begitu-begitu yang sebenarnya hanya untuk Kamu. Sungguh, Kang.” Kartawi
tatap membatu. Matanya tetap berpijar. Urat rahanya masih menggumpal.
Dalam perasaan yang terpangga itu Kartawi melihat wilayah-wilayah
pribadi tempat bersemayam harga diri dan martabat kelelakiannya
terinjak-injak. Porak-porak. Jemari kembali meregang untuk meremas gelas
yang masih digenggamnya. Jum malah mencoba tersenyum. Tetapi Jum
terkejut karena tiba-tiba Kartawi berteriak. ”Lalu apa bedanya begitu-begitu yang main-main dengan begitu-begitu
yang sungguhan?” Jum kembali menelan ludah.n Dan ketenangannya yang
kemudian berhasil ditampilkannya membuat Kartawi harus tetap pada posisi
menahan diri. ”Oalah Kang, bedanya banyak. Karena Cuma main-main maka begitu-begitu yang saya lakukan itu tidak sampai ke hati. Tujuan saya hanya untuk membayar penajem,
agar warung kita laris, tidak lebih. Jadi, Kamu tidak kehilangan
apa-apa, Kang. Semuanya utuh. Kang, jika warung kita bertambah laris,
kita juga yang bakal enak-kepenak, bukan?” Belum satu detik
setelah Jum selesai mengucapkan kata-katanya Kartawi bangkit. Detik
berikut terdengar suara gelas hancur terbanting di lantai. Kartawi ke
luar setelah membanting pintu keras-keras. Dan Jum menangis.
***
Selama tiga hari Kartawi lenyap dari rumah.
Para tetangga bilang, Kartawi begitu tertekan, malu, dan terhina,
setelah mendengar pengakuan Jum. Malah ada yang bilang Kartawi kembali
ke rumah orang tuanya dan telah memutuskan hendak bercerai dari Jum.
Namun ada lagi yang bilang Kartawi pergi hanya untuk menghibur diiri
dengan cara jajan. Dengan jajan Kartawi berharap dendamnya dapat
terlampiaskan karena kedudukan antara dia dan Jum menjadi satu-satu.
Atau entahlah. Yang pasti Kartawi sendiri setelah jajan beban pikirannya
malah semakin berat. Terasa ada bagian jati dirinya yang lepas.
Pada hari keempat Kartawi pulang. Rindunya
pada rumah, kepada anak-anak, dan kepada Jum tak tertahankan. Bagaimana
juga Jum dan anak-anak sudah lama menjadi bagian hidup Kartawi sendiri.
Kemarahan yang amat sangat tak mampu mengeluarkan Jum dari inti
kehidupannya. Namun sampai di halaman Kartawi termangu. Dipandangnya
warung Jum yang laris yang telah mendatangkan banyak untung. ”Dengan
warung ini ekonomi rumah tanggaku bisa sangat meningkat,” pikir Kartawi.
”Keluargaku bisa hidup wareg, anget, rapet.” Tetapi dada Kartawi kembali terasa remuk ketika teringat penajem
yang telah dibayar oleh Jum. Peningkatan ekonomi itu ternyata telah
menuntut pengorbanan yang luar biasa dan mahal. Kartawi jadi bimbang dan
tergagap di halaman rumah sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar