Maka Blokeng pun melahirkan bayinya: perempuan. Lalu kampungku
tiba-tiba jadi lain, terasa ada kemandekan yang mencekam. Kampung penuh
kasak-kusuk, bisik-bisik, dan cas-cis-cus. Jelas ada keblingsatan,
tetapi masih dalam bentuknya yang laten. Keblingsatan itu kini baru
tampak menggejala sebagai merosotnya senyum sesama warga, berganti
menjadi wajah-wajah kaku karena curiga. Saling curiga tentang siapa ayah
bayi Blokeng.
Perihal perempuan hamil di luar nikah, sebenarnya tidak lagi menjadi
isu yang mengesankan di kampungku. Sudah acap terjadi babu dari
kampungku pulang mudik membawa buntingan anak majikan. Atau entah anak
siapa. Ada anak perawan mendadak lenyap dari kampung dan pergi entah ke
mana untuk mencari tempat yang jauh agar kelahiran haram-jadahnya luput
dari pengetahuan orang sekampung. Banyak lagi cerita seperti itu.
Tetapi tentang si Blokeng memang tak ada duanya. Kecuali dia adalah
perempuan yang secara biologis sempurna - seperti baru saja terbukti -
sama halnya dengan perempuan-perempuan lain. Selebihnya, siapa pun tak
sudi diperbandingkan apalagi dimiripkan dengan Blokeng. Ini kepongahan
kampungku yang dengan gemilang telah berhasil memelihara rasa congkak
dengan cara memanipulasi nilai martabat kemanusiaan.
Jadi, ketika Blokeng bunting, lalu melahirkan bayi perempuan, kampung
blingsatan. Perempuan-perempuan berdecap-decap sambil mengusap dada.
“Gusti Pangeran, bajul buntung mana yang telah menyerbu Blokeng?” Ya,
perempuan. Mereka masing-masing punya suami yang tak bisa membebaskan
diri dari kecurigaan yang telah menutup seisi kampung. Atau karena
perempuan-perempuan itu sudah sama-sama merasakan perihnya melahirkan
bayi. Perih, tak peduli bayi itu sudah lama diidamkan, lagi pula anak
seorang suami yang sah. Bagaimana tentang si Blokeng yang melahirkan
anak antah berantah?
Kaum lelaki kampungku cengar-cengir. Tanpa seorang pun terkecuali,
mereka bergabung dengan paduan sas-sus. Tanpa kecuali, sebab
mengasingkan diri sama artinya dengan mengundang perhatian khalayak dan
pada gilirannya tanpa ampun lagi bakal tertimpa tuduhan menghamili
Blokeng. Dan kampungku memang pongah. Tuduhan membuntingi Blokeng, di
luar segala urusan hukum atau norma lainnya, dianggap sebagai perilaku
primitif yang paling tidak bermartabat. Sebab Blokeng memang tak ada
duanya dan setiap perempuan akan merasa demikian malu bila
diperbandingkan dengan dia.
Dulu ketika Blokeng baru diketahui hamil empat bulan ada seorang hansip yang bertanya kepadanya, siapa ayah si jabang bayi.
“Mbuh,” jawab Blokeng acuh.
“Eh, katakan saja, demi kebaikanmu sendiri dan demi bayimu yang pasti memerlukan wali bila kawin kelak.”
“Mbuh, mbuh-mbuh-mbuh!”
“Eh, jangan alot seperti itu. Aku ini hansip. Kamu tak boleh mungkir. Atau kudatangkan polisi kemari?”
Blokeng tidak mengerti apa itu polisi. Tetapi dia mengerti orang-orang
berseragam yang pernah menarik tangannya agar dia menyingkir dari
onggokan sampah pasar karena bupati mau datang meninjau pasar. Seperti
monyet melihat belacan. Takut dalam citra satwa. Itulah kesan perasaan
yang tergambar dalam wajah Blokeng. Wajahnya menciut.
“Ular.”
“Ular? Yang membuntingimu ular? Baik, tapi katakan ular siapa?”
“Ular koros.”
“Aku tidak main-main!”
“Mbuh-mbuh-mbuh!”
Pak hansip mulai berang. Ternyata baju seragamnya tidak cukup ampuh
sebagai alat penarik pengakuan Blokeng. Maka dicarinya tali. Pak hansip
berpura-pura hendak membelenggu Blokeng.
“Aku tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku bocor dia akan memukulku
dengan ini,” kata Blokeng sambil menggamit lampu senter pak hansip.
“Jadi ayah bayimu datang ke sarang ini membawa senter? Dia lelaki yang mempunyai senter?”
“Mbuh.”
Maka keesokan hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang
lelaki yang memiliki lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian
memperlihatkan gejala aneh. Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan
malam hari lebih suka memilih suluh untuk penerangan. Ronda malam dan
hansip kena marah karena mereka menjaga kampung hanya menggunakan korek
api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter terus menghilang dari
kampungku yang pongah.
Sekali waktu ada sas-sus baru. Katanya, Blokeng memberikan keterangan
lain tentang laki-laki yang membuntinginya. Dia adalah seorang
laki-laki yang malam-malam merangkak ke dalam sarangnya dan memakai
sandal jepit. Blokeng tidak tahu persis siapa dia karena sarang Blokeng
yang terletak di atas tanah becek tak pernah berlampu. Tidak pernah.
Dunia Blokeng adalah dunia sampah pasar, dunia tanah lembab, dan dunia
yang tak mengenal lampu. Kampungku yang pongah berkelit dengan jurus
yang lain lagi. Kini orang mencari bakiak dan bandol sebagai alas kaki.
Sementara itu sandal jepit lenyap dengan serta-merta.
Sampai Blokeng dengan selamat melahirkan bayinya dibidani nyamuk dan
kecoa. Tapi bayinya tangguh seperti anak kerbau yang lahir di kubang
lumpur. Bayi Blokeng adalah anak alam sendiri, meski alam becek penuh
cacing. Kelahirannya ditandai oleh tingkah kampungku yang jadi
blingsatan dengan intensitas yang kian hari kian meningkat.
Adalah Lurah Hadining, lurah kampungku, kampung yang pongah. Sejak
semula Lurah Hadining mengerti adanya kemandekan yang mencekam dan lalu
meningkat menjadi keblingsatan kampung. Dalam perkembangan tertentu
keblingsatan adalah keresahan warga. Lurah Hadining tidak punya tafsir
lain atas keresahan ini kecuali sebagai seteru rancangan pembangunan.
Tentu. Maka keblingsatan beserta anak cucunya harus dioperasi, bila
perlu dengan menggunakan sinar laser atau sinar partikel.
Lurah Hadining tersenyum. Setelah sekian hari memikirkan cara buat
melenyapkan keblingsatan warganya akibat kelahiran Bayi Blokeng. Kini
dia telah menemukannya. Semua laki-laki di kampungku disuruhnya kumpul.
Tak ada yang mau absen karena absen berarti seorang diri menentang arus
yang justru mengundang kecurigaan. Kampung mengira Lurah Hadining hendak
melotre siapa yang harus bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng.
Ternyata kampungku yang pongah salah duga. Lurah Hadining tidak
memutar lotre. Dia berpidato lebar dan panjang. Katanya antara lain,
“Blokeng bukan perawan Mariam. Dan bayinya bukan Yesus yang ketika lahir
sudah mampu mengatasi keblingsatan semacam ini. Pokoknya Blokeng tidak
seperti keluarga Mariam yang diberkati banyak hal surgawi. Blokeng hanya
diberkati sampah pasar.”
Kemudian Lurah Hadining meminta kampungku menjadi saksi. Demi
melenyapkan keblingsatan para warga maka dia menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kelahiran bayi
Blokeng. Dia sudah membayar dukun bayi. Dia sudah menyiapkan lincak
bambu dan tikar pandan untuk mengangkat Blokeng bersama bayinya dari
tanah yang lembab. Ibu lurah sudah siap dengan catu makanan sebelum
Blokeng mampu berjalan kembali ke sampah pasar.
Sejenak kampungku terpana mendengar ucapan Lurah Hadining. Namun
sesaat senyum legalah yang tampak di mana-mana. Lega. Kesaling-curigaan
sirna. Mereka berbondong-bondong berjalan mengikuti Lurah Hadining
menuju sarang Blokeng. Ada yang memikul lincak, ada yang mengangkat
gulungan tikar dan ada yang pulang dulu hendak mengambil pelita penuh
minyak. Semua buat Blokeng. Semua ingin memperhatikan nasih orang yang
paling tidak bermartabat di kampungku.
Gubuk Blokeng penuh dirubung orang. Suara langkah kaki di tanah
becek. Suara anak terjatuh atau tergelincir lumpur atau tinja penghuni
sarang itu. Lincak dipasang dalam satu-satunya ruangan dalam sarang
Blokeng. Hampir penuh. Dan tikar digelar. Blokeng diminta bangkit dari
tanah bersama bayinya. Dia naik ke tempat tidur tanpa sepatah kata,
tanpa sedikit pun ekspresi rasa pada wajahnya. Blokeng hampir tidak
pernah berkomunikasi dengan siapa pun dalam bahasa ekspresi, apalagi
bahasa lisan. Sekali lagi, Hadining meminta kampungku menjadi saksi
bahwa bayi Blokeng adalah anaknya.
“Setidaknya ayah bayi ini pasti seorang lelaki. Nah, saya pun
laki-laki, bagian yang sah dari kelelakian. Jadi, saya tidak bisa begitu
saja dianggap mengada-ada dengan mengakui bayi Blokeng sebagai anakku.”
Lagi, kampungku memperlihatkan kelegaan yang demikian nyata. Namun
demikian kampungku terheran-heran. Mereka melihat di sana Blokeng
termangu setelah mendengar kata-kata Lurah Hadining. Termangu dalam
citra hewani. Lalu dalam gerakan sama sekali tidak bermartabat. Tidak
bertata-karama, Blokeng melepaskan bayinya. Didekatinya Lurah Hadining.
Dibukanya kopiah kepala kampung itu. Lurah Hadining yang terkesima
membiarkan saja perilaku Blokeng.
“Tidak,” kata Blokeng sungguh tanpa emosi, “yang datang kemari malam-malam tidak berkepala botak. Bukan orang ini.”
Kampungku tergagap, tak terkecuali lurahnya, sedetik setelah
mendengar ucapan Blokeng. Lihatlah wajah-wajah mereka yang baur dan
buram. Mereka menggaruk kepala masing-masing yang sama sekali tidak
botak kecuali Lurah Hadining. Di bawah rambut lebat otak mereka mulai
berpikir untuk berkelit menghindar dari kemungkinan tuduhan membuntingi
Blokeng. Sungguh, keesokan hari kampungku sudah berubah gundul. Gundul
di sini, gundul di sana, di mana-mana terlihat lelaki gundul. Dan
keblingsatan tetap mencekam kampungku yang pongah.
Hanya Blokeng sendiri yang tidak ikut blingsatan. Dunianya yang tidak
cukup akal membebaskannya dari dosa, dari keharusan mempunyai suami
sah, dan dari kepongahan yang akan menelorkan keblingsatan dan
kepura-puraan. Tetapi bukan berarti Blokeng sekali pun tidak bisa
bertindak seperti perempuan kebanyakan. Suatu pagi Blokeng membawa
bayinya ke depan pintu gubuk, dilelo-lelo, ditimang-timang.
“Cowet, anakku. Ayahmu itu mbuh. Tetapi jangan bersedih, ya. Lihatlah
itu, orang-orang gundul. Lucu, ya?” Seperti tahu kata-kata emaknya,
cowet yang masih bayi tertawa ngakak. Hek-hek-hek. Hik-hik-hik.
kumpulan Arsip Berita dan Informasi, Dokumentasi, Beberapa catatan/ide atau harapan, Bertujuan utama memperkenalkan Banyumas kepada masyarakat luas. Berupa Perkembangan Desa dan Kota, serta segala potensinya.
Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas
Senin, 21 September 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri yang Diunggulkan
Info Tentang Blog Banyumas Corner
saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...
-
Di Kabupaten Banyumas unit pelayanan Samsat ada beberapa lokasi Yakni kantor pusat Purwokerto, DriveThru halaman rumah dinas eks Bakorwi...
-
Tingkatkan Kecepatan Layanan JNE Resmikan Wangon Gateway Salah satu perusahaan jasa pengiriman ekspres dan logistik nasional, JNE ter...
-
Bunga-bunga api kecil melentik ke udara ketika tangan Suing mengusik perapian. Tangan yang pucat dan bergerak lemah. Tengkuk dan dahi S...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar