Wangon Jatilawang
1
Wajah dua tamuku mendadak berubah ketika Sulam masuk. Mereka makin
bingung melihat Sulam terus melangkah dan berdiri tepat di sisiku. Kedua
tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang serta sepatu
bagus itu, tentu tak mengenal Sulam. Namun siapa saja yang tinggal di
antara Wangon dan Jatilawang pasti mengenal dia. Sepanjang ruas jalan
raya kelas dua itu nama Sulam sangat terkenal.
“Pak,” kata Sulam tanpa ekspresi apapun.
“Ya” jawabku, “ nasi atau uang?”
Sulam diam. Diperlihatkannya padaku ujung celananya yang kuyup. Celana
yang kedodoran itu nyangkut di perutnya dengan ikatan tali plastik.
Kaosnya ada gambar yang sangat cabul di bagian punggung. Ah, pasti
anak-anak nakal telah mempermainkan Sulam.
“Nasi atau uang?” ulangku
“Aku sudah punya uang,” jawab Sulam sambil membuka tangannya. Ada
kepingan logam putih di sana. Tetapi tangan itu pucat dan gemetar. Maka
aku bangkit meninggalkan kedua tamuku yang duduk membisu. Sepiring nasi
dan segelas teh kuberikan Sulam. Dia duduk di lantai, tepat di samping
kursiku. Kedua tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang dan
sepatu bagus itu tetap diam.
Selesai makan, Sulam mengangkat sendiri piring dan gelasnya, lalu masuk
ke dalam. Anak-anakku tak ada yang merasa takut kepadanya. Mereka sudah
kenal siapa dia. Dan tanpa sepatah kata pun, Sulam keluar. Pastilah dia
akan meneruskan perjalanannya ke pasar Jatilawang. Kedua tamuku
menghembuskan napas panjang-panjang. Kukira salah seorang di antara
mereka ingin bertanya tentang siapa dan mengapa lelaki kerdil berkepala
seperti buah salak itu. Tetapi aku hanya tersenyum. Kukira itulah
jawaban yang paling aman. Toh kedua tamuku yang masing-masing berbaju
lengan panjang dan sepatu bagus itu sudah bisa menduga sendiri siapa
dia, siapa Sulam. Bahkan aku lagi-lagi hanya tersenyum ketika salah
seorang tamuku bertanya apakah Sulam sering mampir ke rumahku seperti
tadi.
“Yang penting sampean berdua tidak tersinggung karena aku menerima tamu yang kotor dan kurang sopan tadi, bukan?”
Kedua tamuku saling berpandangan dan tersenyum janggal.kukira mereka agak terkejut dengan pertanyaanku.
“Maaf, Mas. Aku merasa perlu bertanya demikian karena aku mempunyai banyak pengalaman dengan tamu yang kotor tadi.”
2
Lalu aku mendongeng. Suatu hari, lepas magrib, Sulam datang. Kebetulan,
aku sedang menyelenggarakan kenduri. Gerimis yang sejak lama turun,
membuat Sulam basah kuyup. Aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali
menyilakan Sulam masuk, meski aku melihat tamuku jadi agak masam
wajahnya. Setelah kutukar pakaiannya, Sulam kuajak menikmati kenduri.
Dia kubawa ke tempat persis di sampingku. Orang-orang yang semula duduk
di dekatku menjauh, menjauh. Dan kenduriku malam itu berakhir tanpa
keakraban. Para tamu pulang hanya dengan ucapan basa basi. Wajah mereka
jelas berbicara bahwa mereka merasa tersinggung karena Sulam kuajak
duduk di antara mereka. Semuanya lebih jelas ketika aku beberapa minggu
kemudian menyelenggarakan kenduri lagi. Ternyata hanya beberapa orang
yang datang memenuhi undanganku.
Kedua tamuku yang berbaju lengan panjang dan bersepatu bagus itu
mengangguk angguk. Kukira keduanya merasa heran. Tetapi aku tak tahu,
apakah mereka heran terhadapku atau terhadap orang-orang kenduri yang
tersinggung oleh kedatangan Sulam itu. Atau terhadap kedua-duanya aku
dan orang-orang kenduri itu. Dan kepalang dua orang muda itu sudah
terheran heran, maka lebih baik kuteruskan dongengku. Bahwa emakku
sendiri suatu ketika marah karena mendapati Sulam menginap di rumahku.
“Yah, bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh. Karena
sampai malam hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini.”
“Lhah! kamu seperti tak tahu. Rumah siapa saja yang sering disinggahi
orang semacam Sulam, bisa apes. Tak ada wibawa dan rejeki jadi tidak mau
datang. Lihat tetanggamu itu; tamunya gagah-gagah, bagus-bagus. Tamumu
malah si Sulam.”
“Bila hari tak hujan, Sulam pun tak mau menginap di sini Mak.”
“Memang rumahnya kan pasar Wangon dan pasar Jatilawang, bukan rumahmu ini, kamu saja yang bodoh.”
Mendengar dongeng itu kedua tamuku yang berbaju lengan panjang dan
bersepatu bagus tersenyum. Kali ini senyumnya lepas. Kukira mereka
membenarkan sikap emakku terhadap Sulam, entahlah. Sementara itu, aku
teringat Sulam yang saat ini pasti dalam perjalanan menuju pasar
Jatilawang. Kubayangkan, langkahnya yang pendek-pendek sambil menyeret
ujung celana yang basah dan kedodoran. Bila perutnya tidak kelaparan,
Sulam selalu berjalan sambil rengeng-rengeng. Tak pernah jelas tembang
apa yang didendangkannya. Kadang dalam perjalanan antara Wangon dan
Jatilawang Sulam pintar meniru gaya penyiar tv meski suara yang keluar
dari mulutnya hampir tak punya makna apa pun. Dan ketika kedua tamuku
yang bagus-bagus itu minta diri, kukira mereka akan mencapai Sulam
sebelum pasar Jatilawang. Namun aku merasa ragu, apakah mereka mempunyai
cukup perhatian untuk mengenali Sulam kembali.
Wangon dan Jatilawang adalah dua kota kecamatan. Jarak keduanya tujuh
kilometer atau lebih. Setiap hari Sulam berjalan menempuh tujuh
kilometer itu pulang pergi; pagi ke Wangon, sore ke Jatilawang atau
sebaliknya. Tak peduli panas atau dingin. Kata banyak orang, Sulam hanya
singgah dan berteduh di rumahku. Tetapi aku tak percaya akan cerita
demikian, karena rasanya terlalu berlebih-lebihan. Kukira tidak semua
orang yang tinggal antara Wangon dan Jatilawang tidak suka bersahabat
dengan Sulam.
3
Memasuki bulan puasa, Sulam tetap singgah ke rumahku setiap pagi. Tetapi
sikapnya berubah. Dia kelihatan malu ketika menyantap nasi yang
kuberikan. Setiap kali dalam kesempatan berbeda Sulam selalu berkata:
“Pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?”
“Ya, kamu boleh tidak berpuasa. Anaku yang masih kecil juga tidak berpuasa.”
“Tapi aku bukan anak kecil, Pak. Aku wong gemblung,” kata Sulam serius.
“Ah, siapa yang mengatakan kamu demikian?”
“Wong gemblung boleh tidak puasa, kan?”
“Nanti dulu; siapa yang mengatakan kamu wong gemblung?”
Sulam tidak menjawab. Kemampuan nalarnya kukira, sangat terbatas. Dan
inilah rupanya yang menyebabkan semua orang yang tinggal di antara
Wangon dan Jatilawang mengatakan Sulam wong gemblung. Kukira mereka
memang tidak mempunyai istilah lain. Dan sebutan itu menempel pada Sulam
sejak dia masih anak-anak. Dulu Sulam tinggal secara tetap dengan
emaknya dalam sebuah rumah kecil di Jatilawang. Emak Sulam yang
sama-sama menderita keterbelakagan mental, meninggal dan rumah kecil itu
punah tak lama kemudian. Sulam yang sebatangkara lalu menjadi anak
pasar Jatilawang dan pasar Wangon.
4
Dekat hari Lebaran, pagi-pagi sekali, Sulam sudah berada di rumahku. Aku
tak melihat kedatangannya, dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di ruang
makan. Wajahnya kelihatan bimbang. Nasi dan sekeping uang yang
kuletakkan di atas meja di depannya, tidak segera menarik perhatiannya.
Ketika kutanya mengapa demikian, Sulam malah balik bertanya;
“Sudah hampir Lebaran, ya Pak?”
“Ya, empat atau lima hari lagi. Kenapa?”
Sulam menunduk. Terbengong-bengong sehingga muncul semua tanda keterbelakangannya.
“Mestinya Lebaran ditunda sampai emak pulang.”
“Hus! Lebaran tidak boleh ditunda. Nanti semua orang marah.”
“Tetapi emak belum pulang. Dia sedang pergi ke kota membeli baju.”
“Oh, aku tahu sekarang. Kamu tak usah menunggu emakmu. Nanti aku yang memberimu baju.”
Sulam mengangkat muka lalu tersenyum aneh. Nasi di depannya dimakan
dengan lahap, sementara aku pergi ke belakang mengurus ayam. Kukira aku
cukup lama di kandang ayam; tapi ketika aku masuk kembali ke rumah.
Sulam masih duduk di ruang makan.
“Sudah hampir lebaran, ya Pak?”
“Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak
menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari
lebaran kamu pagi-pagi kemari.”
“Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru.”
“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu
kuberikan sekarang, wah repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan
lumpur sebelum Lebaran tiba?”
“Aku kan wong gemblung, Pak.”
“Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”
Aku ingin berkata lebih banyak. Namun Sulam melangkah pergi. Wajahnya
murung. Aku mengikutinya sampai ke pintu halaman. Dari belakang
kuperhatikan langkahnya yang pendek-pendek, menyeret-nyeret ujung
celananya yang kombor dan kelewat panjang, celana pemberian orang.
Mobil-mobil masih menyalakan lampu kecil, karena pagi sangat berkabut
mendahului Sulam. Makin jauh tubuh Sulam makin samar. Dan sebelum
seratus meter jauhnya, Sulam telah raib dalam keremangan pagi berkabut.
5
Dan aku mulai menyesal, mengapa tidak memenuhi permintaan Sulam akan
baju dan celana yang layak. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan Sulam
yang suka mengotori baju yang kuberikan, atau menukarnya begitu saja
dengan sebungkus nasi rames di pasar Wangon. Maka sebenarnya aku tidak
cukup mengerti tentang lelaki kerdil yang setiap hari menyusuri jalan
raya antara Wangon dan Jatilawang itu. Dengan demikian, aku sungguh
tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam.
Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghunjam ke dasar hati. Seorang tukang becak sengaja datang ke rumahku.
“Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang!”
Bisa jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat
pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya
lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani
menjenguk mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali
menyuruhku ke sana. Sulam telah menyindirku dengn cara yang paling
sarkastik sehingga aku mengerti bahwa diriku sama sekali tidak lebih
baik daripadanya. Atau memang demikianlah keadaan yang sesungguhnya.
Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari Tuhan tak pernah
jauh dari diri Sulam. Dan aku yang konon telah mencoba bersuci jiwa
hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaanya.
kumpulan Arsip Berita dan Informasi, Dokumentasi, Beberapa catatan/ide atau harapan, Bertujuan utama memperkenalkan Banyumas kepada masyarakat luas. Berupa Perkembangan Desa dan Kota, serta segala potensinya.
Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas
Senin, 21 September 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri yang Diunggulkan
Info Tentang Blog Banyumas Corner
saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...
-
Di Kabupaten Banyumas unit pelayanan Samsat ada beberapa lokasi Yakni kantor pusat Purwokerto, DriveThru halaman rumah dinas eks Bakorwi...
-
Tingkatkan Kecepatan Layanan JNE Resmikan Wangon Gateway Salah satu perusahaan jasa pengiriman ekspres dan logistik nasional, JNE ter...
-
Bunga-bunga api kecil melentik ke udara ketika tangan Suing mengusik perapian. Tangan yang pucat dan bergerak lemah. Tengkuk dan dahi S...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar