Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas

Kamis, 29 Oktober 2015

Masjid Saka Tunggal Cikakak Wangon, Mistery Angka dan Pengembangan Ekonomi

 
Salah satu Acara TV Swasta dalam meliput Area Masjid Saka Tunggal



Masjid Saka Tunggal Bisa Jadi Wisata Alternatif



Quote suaramerdeka.com 22 November 2016 :
Kompleks wisata religi Masjid Saka Tunggal dan terapi pijat Husada Tirta Brahma bisa diarahkan menjadi wisata alternatif. Namun, perlu dilakukan penataan lokasi agar pengunjung merasa nyaman saat berlibur.

Pengamat pariwisata Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Drs Chusmeru MSi, mengemukakan, Masjid Saka Tunggal dan taman kera dikemas menjadi paket wisata religi kurang dilirik wisatawan. Demikian halnya dengan Husada Tirta Brahma yang bersifat ekoturisme. ”Wisatawan yang akan membeli paket ini tentu tersegmentasi. Jadi, seharusnya Pemkab membidik kawasan itu ke arah konsep quality tourism,” katanya, kemarin.

Standar pariwisata yang berkualitas, sambung dia, yakni ketersediaan penginapan dengan harga yang pantas, fasilitas di tempat wisata, akses jalan, papan penunjuk maupun penerangan, tempat berbelanja dan pilihan atraksi maupun aktivitas.

Wisata Andalan

Dia mengatakan, kawasan Banyumas Barat seharusnya bisa menjadikan objek wisata Dreamland Park sebagai andalan. Objek wisata massal untuk rekreasi dan hiburan ini lebih mudah menarik wisatawan ketimbang objek lainnya. ”Tinggal menyusun paketnya dengan daerah pendukung lainnya sebagai aktivitas alternatif,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko, mengatakan, secara bertahap, pihaknya akan mengembangkan konsep kawasan wisata terintegrasi mulai dari Kecamatan Cilongok, Ajibarang, Pekuncen, Wangon, Lumbir dan Gumelar.

Ini dimulai dengan menggarap even untuk mengenalkan potensi wisata Banyumas barat ”Dukungan dari berbagai pihak serta masyarakat setempat pun harus semakin meningkat. Ini akan menjadi modal pengembangan destinasi alternatif selain Baturraden,” jelasnya

Quote FB Banyumas Dalam Info :


Kompleks wisata religi Masjid Saka Tunggal dan terapi pijat Husada Tirta Brahma bisa diarahkan menjadi wisata alternatif. Namun, perlu dilakukan penataan lokasi agar pengunjung merasa nyaman saat berlibur.

Pengamat pariwisata Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Drs Chusmeru MSi, mengemukakan, Masjid Saka Tunggal dan taman kera dikemas menjadi paket wisata religi kurang dilirik wisatawan. Demikian halnya dengan Husada Tirta Brahma yang bersifat ekoturisme. ”Wisatawan yang akan membeli paket ini tentu tersegmentasi. Jadi, seharusnya Pemkab membidik kawasan itu ke arah konsep quality tourism,” katanya, kemarin.

Standar pariwisata yang berkualitas, sambung dia, yakni ketersediaan penginapan dengan harga yang pantas, fasilitas di tempat wisata, akses jalan, papan penunjuk maupun penerangan, tempat berbelanja dan pilihan atraksi maupun aktivitas.

Wisata Andalan

Dia mengatakan, kawasan Banyumas Barat seharusnya bisa menjadikan objek wisata Dreamland Park sebagai andalan. Objek wisata massal untuk rekreasi dan hiburan ini lebih mudah menarik wisatawan ketimbang objek lainnya. ”Tinggal menyusun paketnya dengan daerah pendukung lainnya sebagai aktivitas alternatif,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko, mengatakan, secara bertahap, pihaknya akan mengembangkan konsep kawasan wisata terintegrasi mulai dari Kecamatan Cilongok, Ajibarang, Pekuncen, Wangon, Lumbir dan Gumelar.

  • Ini dimulai dengan menggarap even untuk mengenalkan potensi wisata Banyumas barat ”Dukungan dari berbagai pihak serta masyarakat setempat pun harus semakin meningkat. Ini akan menjadi modal pengembangan destinasi alternatif selain Baturraden,” jelasnya

Bagi yang belum tahu mengenai Masjid saka Tunggal di Desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas, silakan melihat viseo di atas.

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Masjid ini dibangun pada tahun 1288 seperti yang tertulis pada Saka Guru (Tiang Utama) masjid ini. Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih jelas tertulis pada kitab-kitab yang  ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu Kyai Mustolih. Tetapi kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu.
Setiap tanggal 27 Rajab di masjid ini diadakan pergantian Jaro dan pembersihan makam Kyai Mustolih. Masjid yang berjarak ± 30 km dari kota Purwokerto ini, disebut Saka Tunggal karena tiang penyangga bangunan masjid ini, dulunya hanya satu tiang (tunggal).

Meskipun meragukan bahwa angka tahun I288 pada tiang mesjid merupakan tarikh masehi, tapi saya setuju kawasan Cikakak tetap diberdayakan sebagai salah satu aset wisata di kabupaten banyumas. Saya pribadi berpendapat cenderung bahwa itu angka bertahun Hijriyah , maka bila dihitung berarti sekitar I56 tahun yang lalu. Mengapa hijriyah, karena sesuai kondisi masyarakat di pedalaman, mereka lebih paham penanggalan hijriyah dan baca tulis hijaiyah. Di Indonesia bahan huruf Arab pernah menjadi bagian utama dari mata uang karena sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu belum paham sistem baca tulis latin. Maka dari hal ini, berlaku di Cikakak yang merupakan desa terpencil. Lokasi Cikakak bukan daerah pesisir.

Analisis sederhana saya :

a). Bahwa sistem kalender Masehi merupakan peninggalan bangsa Eropa ( Belanda Masuk Indonesia abad XVI) , mungkinkah Cikakak pada abad XI sudah mengenal kalender Masehi sebelum Belanda datang?  Belanda menguasai Karesidenan Banyumas baru pada pertengahan abad XIX, jadi apa mungkin saat masa kerajaan Majapahit di Cikakak sudah mengenal kalender Masehi?
b) Kalender yang berlaku di era Majapahit adalah kalender Saka. pertanyaannya, apakah kalender saka yang digunakan? Sekedar info, Di Jawa konversi kalender Saka men jadi Kalender Islam Jawa baru terjadi setelah era Sultan Agung. dan itu tejadi di Abad XVII
c) Islam aboge Cikakak berpedoman pada sistem yang dikenalkan pada abad XIV ditinggalkan oleh Raden Sayid Kuning, dan disebarluaskan oleh ulama dari Kerajaan pajang.  , mungkinkah Cikakak mengenal Aboge 2 abad sebelum penemunya? atau lebih tua dari Kerajaan Pajang yang berdiri di abad XVI?

Analisis Banyumasku.com

Diragukan bahwa angka tahun pada tiang masjid Saka Tunggal itu mengacu pada tahun Masehi. Karena baru pada abad ke-16, Jawa bersentuhan dengan Eropa (asal penanggalan Masehi). Baru pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.

Kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Jika angka itu ditoreh pada saat masjid dibuat, orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka.

Namun, telepas dari info tentang angka tahun, hanya sekedar meluruskan sejarah, jika perlu dikoreksi silakan para ahli sejarah, Tim Pemkab dan Universitas turun tangan sehingga bisa dicari info yang sebenarnya seperti halnya kasus Hari Jadi Banyumas. Mari kita Jadikan Cikakak khususnya kawasan Masjid saka tunggal ini , bahwa pusat wisata yang dimiliki kabupaten Banyumas bukan hanya Baturaden. ini adalah waisata alternatif yang infonya akan dikembangkan oleh Pemkab Banyumas. 

Baru baru ini ada acara yang digelar untuk menarik wisatwan, yaitu Festival Rwanda Bojana , event event seperti inilah yang kedepan diharapkan sering digelar secara teratur sebagai penambah daya tarik, selain memperlengkap segala sarana dan prasarana wisata.
Quote FB Banyumas Dalam Info :


Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kec. Wangon berjarak 30 Km arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agama islam yang bernama Kyai Mustolih.

Berdasarkan cerita narasumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Monanta, seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan bahwa sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali Sanga yang merupakan murid syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa Sultan Trenenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumnya tersebut ia tidak mati, bahkan saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pangeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “Kyai Cikakak” diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal (saka tunggal) yang masih lestari hingga saat ini
Masjid saka tunggal di bangun di tempat suci “Agama Kuno” (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindia Budha) yang dapat dibuktikan sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : “agama kuno” dibangun pada tahun 1522 M. Disekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang dihuni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.

Saat ini masjid saka tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayudan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok
Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shlat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.

Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, khoblaljuma’ah, shalat jumat, ba’dla jum’ah. Shalat dhuhur, hingga ba’dal dzuhur. Semuanya muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas jawa warna biru bermotif batik.





.

Lima Desa Dukung Festival Cikakak, Diadakan 1 November 2015

Festival Cikakak yang rencananya akan digelar pada Senin (1/11)  di kompleks objek wisata Masjid Saka Tunggal dan Taman Kera Desa Cikakak, Kecamatan Wangon disambut positif oleh masyarakat. Gelaran Festival Cikakak yang diadakan Dinporabudpar Banyumas didukung lima desa.
"Festival Cikakak nantinya akan didukung lima desa tetangga, yakni Desa Windunegara, Desa Jambu, Desa Wlahar, Desa Banteran, Kecamatan Wangon dan Desa Cirahab Kecamatan Lumbir," kata Subagyo, pengelola objek Wiata Saka Tunggal dan Taman Kera, Rabu (21/10).
Materi acara Festival Cikakak, lanjutnya berupa arak-arakan gunungan yang berisi buah-buahan dan pertunjukan musik tradisional kenthongan.
"Nanti acaranya berupa arak-arakan gunungan buah-buahan oleh perwakilan lima desa dan warga Desa Cikakak serta diramaikan 10 grup kenthongan terbaik yang telah dilombakan sebelumnya mulai dari terminal depan pintu masuk objek wisata Masjid Saka Tunggal menuju kompleks belakang masjid. Lalu gunungan buah-buahnya itu dibagikan ke pengunjung atau warga dan juga ke kera-kera," katanya.
Festival Cikakak tersebut dinilai cukup menarik untuk mendatangkan wisatawan. " Semoga dapat menambah pengunjung yang datang kemari sekaligus mendongkrak pariwisata Kabupaten Banyumas. Maka kami lakukan pembenahan demi pembenahan, kami masih terus melakukan meeting dengan perwakilan lima desa pendukung serta Dinporabudpar agar persiapan kami lebih matang," ujarnya.
Festival Ciakak itu juga dimaksudkan untuk 'menyenangkan' kera-kera yang menghuni di hutan sekitar Masjid Saka Tunggal kala musim kemarau tempat habitatnya sedikit makanan.
"Festival ini juga dikhususkan untuk memberi makan kera dengan buah-buahan yang diarak itu. Maka namanya kegiatan Festival Rewanda Bujana yang artinya makan besar bersama kera. Hal ini untuk menggali kepedulian masyarakat terhadap kehidupan kera yang saat kemarau kekurangan makanan," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Info Tentang Blog Banyumas Corner

saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...