Selamat Kepada Calon Kepala Daerah Banyumas

Senin, 07 November 2016

Bom Waktu Sampah Plastik

Quote suaramerdeka.com :

Makin Diabaikan, Makin Mengancam

Produksi sampah plastik di perkotaan hingga pedesaan di wilayah Banyumas yang tak terkendali saat ini makin mengkhawatirkan.
Dipastikan tanpa pengurangan dan penanganan yang jelas, tersistem, terpadu dan menyeluruh, sampah plastik akan menjadi bom waktu yang mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan Kepala Unit Kebersihan dan Pertamanan Ajibarang, Catur Hari Susilo membenarkan jumlah produksi sampah anorganik oleh masyarakat saat ini terbilang terus mengalami peningkatan.
Hal ini disebabkan karena meningkatkan penggunaan plastik, styrofoam dan berbagai bahan anorganik lain di masyarakat termasuk untuk para pedagang di pasar dan kuliner.
Perilaku membuang sampah plastik sembarang juga menjadi pemicu banjir dan masalah lainnya. “Selain mengancam kesehatan tubuh manusia, sampah plastik ini yang sulit terurai ini menjadi masalah tersendiri meski telah sampai di tempat pembuangan akhir sampah.
Di musim kering, gunungan sampah plastik dan anorganik lain berpotensi mengandung gas metan hingga sehingga rawan terjadi kebakaran,” katanya. Menurut Catur, dari wilayah kerja UKP Ajibarang di sembilan kecamatan di wilayah Banyumas barat dan selatan, sedikitnya setiap hari 850 meter kubik sampah dibuang ke TPAAjibarang. Selama Ramadan, pertambahan volume sampah bahkan terjadi mencapai 10 persen.
Sampah tersebut juga didominasi oleh sampah an organik yang sulit terurai dan busuk. Sayangnya, kesadaran warga untuk mengolah sampah an organik baik berupa dimanfaatkan ulang, didaur ulang hingga dijual untuk menghasilkan nilai ekonoi dan fungsi lainnya masih sangat minim.
“Padahal pengelolaan sampah adalah tanggung jawab semua pihak tak hanya pemerintah. Sayangnya, banyak masyarakat memandang sampah sebagai masalah, namun acuh dalam persoalan penangannya,” kata dia yang tak kenal lelah mendorong masyarakat untuk membuat Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di sejumlah wilayah.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Banyumas, diwakili Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, Djoko Setyono mengimbau masyarakat untuk mengurangi menggunakan styrofoam karena memiliki dampak negatif baik untuk kesehatan maupun lingkungan. Dampak negatif terhadap lingkungan dari sampah tersebut menganggu estetika lingkungan serta berpotensi menjadi penyebab banjir.
Djoko Setyono mengatakan, sampah dari styrofoam dapat menyumbat selokan-selokan, hal ini dapat menyebabkan banjir. “Jangka panjangnya dampak negatif bagi lingkungan, styrofoam tidak dapat diurai atau melebur, bahkan lebih lama daripada sampah plastik,” ujar dia.
Meskipun demikian, pemerintah daerah belum bisa menerapkan pelarangan menggunakan styrofoam. Upaya yang dilakukan dengan cara mengedukasi agar masyarakat maupun pelaku usaha mengurangi menggunakan plastik dan styrofoam, serta meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Upaya lain dari pemerintah daerah dengan melakukan pengelolaan sampah, seperti membuat bank sampah agar sampah yang diproduksi rumah tangga dapat dipilah dengan benar sesuai jenisnya. “Kami mengedukasi kepada masyarakat agar mereka bijak mengelola sampah, seperti Membuang sampah pada tempatnya,” katanya.
Data Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) Banyumas (2014), mencatat produksi sampah rumah tangga di eks Kotip Purwoketo rata-rata mencapai 1.136 meter kubik per hari. Dari volume sampah tersebut hanya sekitar 600 meter kubik yang terangkut ke TPA. Adapun sisanya sekitar 536 meter kubik belum dikelola secara baik. Jumlah tersebut dipastikan lebih banyak jika digabungkan dengan pengelolaan sampah secara keseluruhan di Kabupaten Banyumas.
Pasalnya, pengelolaan sampah di sebagian besar wilayah pedesaan belum tercover pemkab. Adapun persentase jenis sampah Kota Purwokerto paling tinggi (2013) adalah organik (63,99%), disusul plastik (12,5%), sampah kertas (4,6%), karet/kulit (4,5%), gelas/kaca (3,8%), kayu (2,63%), kain (2,78%), metal/logam (3,5%) dan sampah jenis lain-lain (1,70%).
Sementara itu, kenyataan ironis harus terus terjadi di masyarakat. Karena alasan praktis dan instan, banyak warga menggunakan plastik dan stereofoam tanpa mengetahui dan sering terbilang dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.
Tak sedikit pedagang makanan menggunakan styrofoam untuk tempat makanan. Mereka lebih mengedepankan kepraktisannya sebagai tempat makanan daripada ancaman gangguan kesehatan yang bakal dialami oleh para konsumen. Ade (26), pedagang nasi goreng di Kecamatan Cilongok mengaku sudah beberapa tahun terakhir menggunakan styrofoam untuk tempat daganganya. Dia menyediakan styrofoam karena permintaan dari konsumen. Padahal dari keterangan konsumen dan ia sendiri merasakan rasa makanan yang berwadah styrofoam akan berkurang kelezatannya.
“Saya mengikuti permintaan konsumen. Tapi ada juga konsumen yang tidak mau menggunakan styrofoam, dia memilih menggunakan kerta. Saya juga melayani karena saya menyediakan styrofoam dan kertas untuk bungkus nasi goreng,” katanya. Warga Ajibarang, Fitri menambahi sebagian masyarakat tidak mengetahui dampak negatif penggunaan styrofoam. Selama ini mereka menilai styrofoam sebagai bahan alternatif untuk tempat makanan maupun minuman.
Dia berharap pemerintah daerah semakin banyak memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak buruk penggunaan plastik ataupun styrofoam tersebut. “Saya sebenarnya risih melihat orang membuang sampah di sungai, tapi orang itu seperti merasa tidak bersalah. Kami berharap pemkab bisa menggandeng pemerintah desa untuk mengatasi persoalan sampah yang telah merata hingga wilayah pedesaan ini,” katanya.

Edukasi dan Aksi Nyata Jadi Solusi

PEGIAT lingkungan Purwokerto, Apris Nur Rakhmadani mengatakan, di Banyumas sampah yang dihasilkan dari bersih- bersih sungai sebagian besar dari plastik, kemudian kain, botol plastik dan styrofoam. “Paling dominan sampah plastik yang dibuang ke sungai.
Kami saat bersih-bersih sungai hanya dua jam saja mampu menghasilkan sampah sekitar lima kantong beras,” katanya. Dia mengatakan, banyaknya masyarakat membuang sampah ke sungai karena minimnya kesadaran terhadap lingkungan. Bahkan, sekarang ini banyak rumah yang di tepi sungai bangunannya membelakangi sungai agar mudah untuk sanitasi dan membuang sampah.
“Ini menjadi PR bersama untuk mengubah sistem agar masyarakat tidak membuang sampah di sungai,” katanya. Edukasi yang dilakukan Apris bersama dengan tim peduli lingkungan dengan langsung melakukan aksi kegiatan bersih-bersih sungai di daerah yang kotor. Hal ini dilakukan untuk mengubah kebiasaan masyarakat agar peduli kebersihan sungai.
“Kami mengajak warga untuk bergabung membersihkan lingkungannya. Informasi bersih-bersih sungai dengan cara memanfaatkan media sosial. Kami harap gerakan kecil ini dapat mengubah perilaku masyarakat untuk mencintai lingkungannya,” kata dia.

Warga Diminta Kurangi Sampah Plastik

Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang jatuh pada Sabtu (5/11) diperingati warga Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang bersama Komunitas Wong Apa Banyumas dengan menanam ratusan pohon langka nusantara dan tebar benih ikan di Sungai Lingga.
Koordinator Komunitas Wong Apa, Kusno menyatakan, dalam peringatan HCPSN itu ditanam sejumlah tanaman hutan dan kebun langka antara lain, manglit, salam, kayu manis, kepak anjing, manggis, aren, pring gading, pohon kelapa gading, kecapi, nagasari, menteng.
Sementara itu untuk menambah populasi ikan di sungai di wilayah desa setempat juga ditebar benih ikan nila merah dan ikan mas. “Ini menjadi ikhtiar kami bersama warga di sini untuk menjaga dan mencintai alam.
Mencintai alam itu tidak hanya mengambil saja, tetapi juga memberi dan melestarikan apa yang ada di alam. Kami berterima kasih kepada pemilik lahan yang rela menyediakan lahan untuk ditanami berbagai varietas tanaman nusantara ini,” katanya. Kusno yang juga kader lingkungan nasional, juga turut mendorong pengurangan sampah plastik dan stereofoam di masyarakat.
Dalam peringatan HCPSN itulah, mereka makan bersama dengan menggunakan alas daun pisang dan berbagai jenis makanan yang telah disediakan di alam. Komunitas Wong Apa sebagai bagian dari komunitas pecinta alam sekaligus peduli lingkungan terus berupaya untuk melaksanakan aksi-aksi nyata mengurangi dan mencegah kerusakan alam.
“Seperti diketahui sebelum ini kami juga laksanakan tanam sekitar 300 benih aren di wilayah Pegalongan. Kami berharap agar berbagai upaya dapat menjadi motivasi dan inspirasi dari berbagai pihak untuk melakukan aksi yang serupa untuk penyelamatan alam,” jelasnya.
Warga Desa Limpakuwus, Ristam mengatakan, baru mengetahui adanya HCPSN setelah ada kegiatan tanam pohon dan tebar benih ikan oleh Komunitas Wong Apa Banyumas. Dia berharap kegiatan serupa dapat diteruskan kembali di kesempatan lain dengan melibatkan semakin banyak masyarakat beserta anakanak. Hal ini penting agar ketersediaan air di wilayah desa setempat ini semakin terjaga.
“Kalau seluruh lahan di kaki Gunung Slamet ini digunakan sebagai lahan tanam sayur mayur saja, sementara tanaman keras semakin banyak ditebang, kami khawatir banyak mata air hilang. Makanya ke depan kami berharap aksi serupa dapat dilaksanakan lagi,” ujarnya.

Kiat SMPN 1 Baturraden Ikut Mengurangi Timbunan Limbah Plastik


Quote Radarbanyumas.co.id :


Siswa dan Guru Wajib Bawa Alat Makan dan Minum Sendiri Untuk mengurangi jumlah sampah plastik, SMP Negeri 1 Baturraden menerapkan kebijakan larangan menggunakan plastik di sekolah. Larangan berlaku untuk pedagang, siswa maupun guru. —————————————- MAULIDIN WAHYU SETIYA PUTRA, Purwokerto —————————————- Meski baru diterapkan sekitar sebulan lalu, kebijakan itu terbukti ampuh mengurangi jumlah sampah plastik. Kebijakan itu, perlu diapresiasi dan dicontoh oleh sekolah lain. Apalagi volume sampah plastik di Banyumas setiap hari semakin bertambah. Jika tidak segera diatasi, persoalan itu bisa menjadi petaka bagi semua orang. Persoalan ini, memang perlu disikapi secara serius. Tidak hanya oleh pemerintaha, namun seluruh masyarakat juga memiliki andil guna mengurangi peredaran sampah plastik. Itulah yang mendasari SMPN 1 Baturraden membuat kebijakan larangan penggunaan plastik. Hampir sebulan, sekolah melarang pedagang di kantin menggunakan plastik sebagai bungkus. Namun dampak dari kebijakan tersebut sudah sangat terasa. Tumpukan sampah plastik, yang biasanya mendominasi tempat-tempat sampah, hampir 95 persen berkurang. Kepala SMPN 1 Baturraden, Herry Nuryanto Widodo mengatakan, kebijakan ini untuk mengurangi sampah plastik. “Pedagang di kantin sekolah, tidak menggunakan plastik. Sebagai gantinyam siswa maupun guru membawa alat makan dan minum sendiri. Itu berjalan baik dan terbukti efektif,” ujarnya. Semua warga sekolah baik siswa maupun guru, jika ingin membeli makanan dan minuman di kantin sekolah, mereka menggunakan piring dan gelas sendiri. “Sekarang guru pun tidak malu membeli makanan dan minuman dengan membawa alat sendiri. Jika mereka tidak membawa alat makan dan minum, pedagang menyediakan piring dan gelas dan hanya bisa dimakan di kantin,” jelasnya Menurutnya banyak keuntungan yang diperoleh dari kebijakan ini. selain sukses mengurangi sampah plastik, para pedagang juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli plastik. “Yang lebih penting anak-anak mempunyai kebiasaan baik, setelah makan dan minum mencuci alat sendiri, berhati-hati dengan penggunaan plastik, dan kami berharap kebiasaan ini akan dibawa dirumah,” tambahnya. Salah satu dewan penggalang, Sandi Oktavian, menyatakan sangat mendukung program sekolah. Menurutnya, kebijakan itu merupakan bagian dari progam kegiatan Pramuka dalam hal lingkungan. Salah satu pedagang, Wanto, juga mengaku beruntung dengan kebijakan ini. “Selain mengurangi biaya untuk membeli plastik, juga kebersihan kantin lebih terjaga,” ujarnya. Di Kantin Sehat selain dilarang menggunaan plastik, pedagang juga dilarang menggunakan perasa, pewarna dan pengawet. Kebijakan ini untuk menjamin agar makanan yang dijual, sehat untuk dikonsumsi.
 

Jumat, 04 November 2016

Pembudi Daya Lokal Didorong Tingkatkan Produksi Ikan

Quote suaramerdeka.com :
Pedagang ikan di Pasar Ikan Minaaji Ajibarang mendorong para pembudi daya lokal di wilayah Banyumas untuk terus meningkatkan kuantitas produk ikan konsumsi. Pasalnya, saat ini, sebagian besar pasokan ikan konsumsi di wilayah lokal lebih banyak dipasok dari luar daerah. Ketua Paguyuban Pedagang Ikan Pasar Minaaji Ajibarang, Tribowo Setyono, mengatakan, pasokan ikan air tawar dari lokal paling hanya sekitar 30 prosen.
Padahal, tiap hari rata-rata pasokan ikan yang dibutuhkan pedagang di Ajibarang saja mencapai satu ton. Di pasar ikan di dekat Pasar Induk Ajibarang itu hanya ada sekitar enam pedagang ikan saja. “Bahkan ketika momen tertentu seperti bulan Ramadan hingga Lebaran, kebutuhan ikan bisa mencapai 1,5-2 ton.
Sayang, kita belum bisa mengandalkan petani ikan lokal. Makanya kami dorong agar pembudidaya ikan lokal bisa meningkatkan kuantitas produknya,” jelasnya. Dijelaskan Bowo, selama ini 70 persen pasokan ikan konsumsi yang diperjualbelikan oleh pedadang didatangkan dari Cianjur, Jawa Barat.
Ia melihat di Cianjur dengan sistem kolam hingga keramba, budi daya ikan cukup maju. Peran pemerintah, peneliti dan petani ikan dalam pengembangan perikanan ini juga terlihat cukup aktif.
“Kami juga berharap kesempatan tingginya konsumsi ikan air tawar ini bisa dimanfaatkan oleh petani lokal untuk berlombalomba meningkatkan kuantitas dan kualitas perikanan. Dengan ini maka kami para pedagang tidak usah jauh-jauh untuk mencari komoditas ikan dari daerah lainnya,” katanya.
Kewalahan
Pembudi daya ikan lele asal Panembangan, Cilongok, Arif Widianto (30) membenarkan pemasaran ikan konsumsi yang cukup besar di wilayah Banyumas. Saat inipun, ia kewalahan memenuhi permintaan pasokan ikan konsumsi untuk pedagang dan pengusaha kuliner di wilayah Purwokerto. Dengan lahan kolam lele bermedia terpal dan kolam tanah, ia mengembangkan budi daya ikan lele untuk pembesaran dan pembibitan.
“Saya panen lele dua kali dalam waktu satu bulan. Untuk harga saat ini cukup bagus yaitu sekitar Rp 15 ribu per kilogram di tingkat pedagang. Makanya kami terus mengembangkan budi daya lele dumbo ini,” kata Arif yang rutin panen dua minggu sekali. Ditanya soal cuaca di musim hujan saat ini, Arif menyatakan tak masalah.
Apalagi dengan pengalaman berbudi daya lele selama beberapa tahun terakhir, ia bisa menangani berbagai penyakit lele. Ilmu penanganan penyakit dan pengkondisian kolam budi daya ikan ini didapatkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dirinya dan pembudi daya ikan lainnya. “Ya, meski terkadang ada kendala, namun itu wajar.
Memang harus cermat dalam membudi daya ikan lele ini. Pantang menyerah dan selalu belajar terutama pada pembudi daya ikan yang lebih berpengalaman sangat dibutuhkan,” ujar dia yang setiap panen bisa mendapatkan ikan lele sebanyak 1 ton. 

Transaksi Batik Papringan Tinggi

Quote suaramerdeka.com :
Batik Papringan, Banyumas yang dipamerkan di Grand City Convention Expo Surabaya pekan lalu diminati pengunjung. Hal ini terkoreksi dari angka transaksi penjualan batik.
Pendamping Batik Papringan, Ageng Kharisma, mengatakan, dalam pameran yang digelar selama empat hari, batik Papringan mampu terjual 57 potong kain dengan omzet Rp 20.140.000. Kain batik yang dipamerkan 300 potong.
Motif batik yang dipamerkan, sambung dia, meliputi babon angrem, serayuan, gajah birawa, dan motif lain khas Papringan. Jenis batik yang dipamerkan adalah batik tulis, jumputan, cap, dan warna alam.”Batik Papringan diminati pengunjung, bahkan Gubernur BI dan deputi BI juga menyukai batik Papringan,” katanya.
Pameran Lanjutan
Pameran ini merupakan pameran lanjutan setelah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Pringmas mengikuti pameran di Jakarta. Pada saat mengikuti pameran di Jakarta, kelompok binaan Kantor Bank Indonesia Purwokerto mampu meraih omzet Rp 71 juta dari transaksi penjualan batik.
Wakil Ketua KUB Batik Prapringan, Iin Susiningsih, mengatakan, pameran produk menjadi media promosi efektif untuk mengenalkan produk ke masyarakat. Apalagi hasil transaksi penjualan pada pameran menggiurkan.
”Setelah pameran tingkat nasional, kami juga sedang mempersiapkan pameran di India pertengahan November ini,” katanya. Pameran ini menjadi kesempatan berharga bagi kelompok batik Papringan, sehingga produk yang akan dipamerkan harus berkualitas untuk menarik minat konsumen luar negeri. ”Kami akan membawa 100 potong kain batik.
Sebagian batik yang akan dipamerkan memiliki motif khas negara India, seperti tokoh pewayangan seperti pandawa lima dan anoman obong,” kata Iin. 

Kamis, 03 November 2016

Jumlah Penduduk Miskin Meningkat, Program Pengentasan Kurang Fokus

Quote suaramerdeka.com :
Program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Banyumas dinilai kurang fokus, sehingga dalam tiga tahun terakhir, angka kemiskinan sesuai data di Badan Pusat Statistik (BPS), cenderung meningkat.
Kondisi tersebut terjadi karena prioritas program pengentasan kemiskinan lebih banyak diarahkan untuk jangka panjang. “Kalau mau mengurangi kemiskinan, ya dari kalori (makanan), bukan dari bantuanbantuan seperti kartu.
Saat pemerintahan SBY ada klaster satu, misal untuk warga lanjut usia dikasih BLT atau yang masih produktif diberi kail modal atau stimulan. Saat Pak Jokowii, arah pengentasan kemiskinan tidak terfokus. Ini juga terjadi di daerah, termasuk di banyumas,” kata Kepala BPS Kabupaten Banyumas, Edy Aprotuwiyono, kemarin.
Dia menilai, selama ini kebanyakan program penanganan kemiskinan, seperti kartu sehat, kartu pintar, kartu simpanan sejahtera keluarga dan bantuan beras maupun bedah rumah, sifatnya hanya meringankan beban rumah tangga miskin.
Itu semua sifatnya untuk jangka panjang. Lalu kenapa pengentasan kemiskinan jangka pendek lebih penting? Menurut Edy, untuk mengurangi atau menekan angka garis kemiskinan masyarakat (GKM), standar acuan yang dipakai di semua negara adalah dari kandungan kalori.
Jika diangkakan dalam ukuran nilai uang baik makanan dan non makanan, yang tidak masuk kategori miskin jika pendapatan Rp 320.585/kapita/ bulan. “Kalau masyarakat sudah mengkomsumsi vitamin atau makannya sedikit, ini dianggap tidak masuk miskin.
Mayoritas jenis makanan yang dikomsumi penduduk Indonesia termasuk Banyumas seperti beras, jagung, ketela . Kalau rumah tangga mamu membeli vitamin , pasti bukan rumah tangga miskin. Yang diteliti adalah komditas-komoditas yang merakyat,” ujarnya.
Di Banyumas, untuk mengukur angka kemiskinan dari makanan adalah Rp 233.385 per kapita/bulan. Non makanan Rp 86.615/kapita/bulan. Jika di total, batas garis kemiskinannya Rp 320.585/kapita/bulan, sehingga penduduk Banyumas yang pengeluarannya baik untuk makanan dan non makanan kurang dari Rp 320.585/kapita/bulan masuk kategori miskin.
Pemerintah daerah selama ini masih terjebak tidak fokus mengentaskan kemiskinan jangka pendek, tapi mengentaskan jangka panjang. Ia mencontohkan program jamban, air bersoh, infrastruktur, pelatihan ketrampilan dan pemberdayaan, muaranya untuk jangka panjang.
“Jangka pendek mestinya fokus meningkatkan pola makan masyarakat agar ketercukupan kalori. Kalau gizinya naik atau komsumsi makanannya cukup dan sehat, juga akan meningkatkan produktivitas. Ini merupakan kebutuhan dasar yang mestinya dituntaskan dulu,” terangnya.
Target penurunan angka kemiskinan kemungkinan tidak tercapai dalam ukuran lima tahun pemerintahan yang sedang berkuasa, karena sasaran untuk peningkatan kalori makanan warga miskin kurang tergarap. Pihaknya telah menyampaikan rekomendasi, yakni program diarahkan fokus ke kelompok masyarakat yang miskin absolut.
Dengan cara misalnya subsidi makanan atau peningkatan pendapatan, seperti program padat karya untuk keluarga miskin atau sasaran utama dari penerima bantuan BUMN-BUMD, model CSR harus tepat sasaran. “Kalau ada bantuan dari BUMN atau BUMD, ya harus tepat sasaran, penerima dibuktikan punya kartu raskin.
Misalnya Bank Indoensia sering membantu ke kecamatan-kecamatan, tapi sasaran keluarga miskin tidak tepat, karena kadang yang bersedia antri justru orang-orang yang mampu dan asal tersalurkan,” katanya. Di masyarakat ada dua kategori msikin, yakni mereka yang betul-betul tidak mampu bekerja, maka diberi subsidi makanan. Sedangkan yang mampu bekerja dengan ditingkatkan pendapatan seperti ikut program padat karya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemkab Banyumas, Eko Prijanto, menyatakan, penanganan kemiskinan jangka pendek juga sudah dilakukan, namun mungkin selama ini belum maksimal. Misalnya, penyaluran bantuan- bantuan sosial, pelayanan kesehatan di dalamnya ada penambahan gizi untuk balita maupun warga miskin.
Kalau jangka panjang lebih diarahkan ke pemberdayaan, peningkatan daya saing UMKM. Program-program jangka panjang tersebut untuk menyiapkan pondasi, sehingga tidak instan atau sesaat. Menurut Eko, data BPS tersebut menjadi bahan evaluasi.
Bupati Achmad Husein, katanya, juga sudah menginstruksikan. Hal ini sedang dianalisa implementasi program ke depannya seperti apa. Bantuan sosial dipekuat untuk kemampauan masyarakat meningkatkan konsumsi. Ini bisa di kesehatan dan pendidikan atau bidang lain.
“Kalau untuk indek pembangunan manusia (IPM) di Banyumas sudah bagus. Untuk menilai IPM tidak sekedar dari angka kemiskinan,” tandasnya. Apa yang diperangkan pemkab, katanya, tidak boleh memikirkan untuk program jangka pendek saja. Pengentasan kemiskinan harus permanen. Untuk jangka pendek tetap akan diperkuat. Yang jangka panjang membangun fondasi sosial ekonomi masyarakat.
“Banyak program yang tidak terpublikasikan dengan baik dan masif, ini bukan soal mengejar yang populis atau tidak. Jika ada yang berimbas menjadi populis itu lain masalah. Kita merancang tidak seperti itu, tapi disesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya. Dalam kesempatan berbeda, Bupati Achmad Husein sempat mengungkapkan, karena ukuran angka kemiskinan dari kalori (makanan).
Maka untuk mensiasasti, dia memerintahkan jajarannya, termasuk pihak desa, memaksa warga masyarakat saat dilakukan sensus atau survei BPS antar Februrai- Maret, untuk makan sebanyak- banyaknya, terutama yang mengandung kalori.

Kebijakan Belum Berpihak

PENDUDUK miskin di Banyumas tercatat akhir 2015 mencapai 17,52% atau 285,85 ribu jiwa. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 17,45 % atau 283,48 ribu jiwa . Kenaikan tersebut bisa dianalisis karena sejumlah faktor.
Pakar studi ekonomi pembangunan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsoed, Abdul Aziz Ahmad mencermati ada tujuh penyebab. Pertama, karena faktor gangguan alam. Menurutnya, belakangan ini lebih banyak terjadi periode hujan dibandingkan kering, atau sering disebut dengan musim kemarau basah akibat fenomena La Nina.
“Ini berbeda dengan dua tahun sebelumnya, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau panjang karena fenomena El Nino. Dampaknya adalah musim tanam dan musim panen tahun ini mengalami perubahan atau bahkan gagal. Dan wilayah pedesaan paling rawan dengan kemiskinan dan ganguan tanam dan panen juga berdampak ke perekonomian petani,” kata doktor lulusan FEB UGM, kemarin.
Faktor kedua, lanjut dia, fungsi kebijakan ekonomi pemerintah tidak berjalan,, terutama di petani pedesaan. Pemerintah dua tahun terakhir tidak berfokus menjalankan kedaulatan pangan bagi mayoritas petani, namun justru memberikan ruang lebih besar bagi kepentingan pemodal besar, misalnya dengan membuat deregulasi Paket Ekonomi.
Yang ketiga banyak terjadi salah urus di lapangan. Misalnya pemberian raskin tidak sesuai dengan jatah dan sasaran, namun dikurangi dengan alasan pemerataan. Di samping itu, beragam program-program bantuan pangan hanya membantu meringankan masyarakat dalam jangka waktu sementara, tidak mengatasi persoalan akar kemiskinan,” katanya.
Sedangkan faktor keempat, lanjut dia, kebanyakan program-program pemerintah untuk mengupayakan naiknya level perekonomian adalah bersifat jangka panjang melalui pembangunan infrastruktur. Namun efek kenaikan kesejahteraan tidak segera tercapai. Penyesuaian ekonomi membutuhkan waktu lama. 
Kelima, pemerintah tidak membuat kebijakan yang proaktif untuk mampu mendorong keterkaitan semua sektor.
Dia mencontohkan, bagaimana mengupayakan petani atau peternak untuk mampu mengupayakan secara mandiri bibit unggul, tidak lagi tergantung pada perusahaan besar yang melakukan monopoli. Faktor keenam, katanya, kegiatan kartel pangan masih dominan. Harga-harga produk pangan penting seperti daging, gula, bawang merah dan putih, dikendalikan beberapa pengusaha besar.
“Dan yang ketujuh, persoalan ekonomi pada dasarnya akan saling simultan terkait antar sektor, antar komoditas dan antar daerah. Persoalan ekonomi di suatu daerah akan berdampak pula pada daerah lain,” kata dia. 

Pemkab Rancang Jalan Lingkar Sokaraja

Quote suaramerdeka.com :
 Pemkab Banyumas tengah menyiapkan rencana pembangunan jalan lingkar Sokaraja. Ini disiapkan untuk kepentingan jangka panjang, yakni mengurangi kepadatan arus lalu lintas di jalan utama wilayah tersebut. “Sokaraja juga menjadi titik macet di Banyumas.
Sebelumnya juga sudah diwacanakan untuk pembagunan jalan lingkar Sokaraja. Kalau jalan lingkar Patikraja penanganannya sedang berjalan,” kata Bupati Achmad Husein, kemarin. Dijelaskan, pada hari-hari biasa Simpang Sokaraja dinilai sudah sangat padat, baik kendaraan lokal maupun kendaraan dari luar daerah. Kepadatan meningkat pada saat akhir pekan atau hari libur. “Perlu ada alternatif jalan lingkar untuk mengurai kepadatan di wilayah tersebut,” katanya..
Beberapa titik di jalur Sokaraja yang kerap menjadi langganan macet, khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Soedirman Sokaraja. Ini mulai dari arah Purwokerto di Simpang Sangkalputung sampai simpang jembatan atau Posis Sokaraja arah Purbalingga dan arah Banyumas. Untuk arah Banyumas kemacetan utama seringnya di depan Pasar Sokaraja.
Sedangkan ke arah Purbalingga dari lampu bangjo jembatan sampai pertigaan menuju Jembatan Linggamas. Bupati menilai, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kemacetan di jalur tersebut. Selain adanya peningkatan volume kendaraan, beberapa pelanggaran lalu lintas seperti parkir juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Rencananya jalan lingkar Sokaraja akan diarahkan melalui Kalibagor, terutama untuk menghindari jalur utama Sokaraja, di mana wilayah tersebut kerap ramai karena merupakan pusat kuliner dan pusat oleh-oleh. Konsep yang disiapkan akan dilakukan pelebaran jalan di jalur tersebut.
Pelebaran jalan diwacanankan sekitar 2 meter ke kanan dan ke kiri, sehingga lebar jalan nantinya mencapai 9-10 meter. “Alokasi anggaran akan diupayakan 2017 nanti. Saya berharap warga dapat mendukung upaya tersebut guna mengurai kemacetan di Sokaraja,” jelasnya. 

Disiapkan Rekayasa Lalu Lintas Penataan Kebondalem

Quote suaramerdeka.com :
Pemkab Banyumas akan menyiapkan rekayasa lalu lintas di sekitar komplek Kebondalem Purwokerto. Hal itu menyusul rencana penataan pedagang kaki lima (PKL) yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Kabid lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dunhubkominfo), Achmad Riyanto mengatakan, rekayasa akan dilakukan untuk melancarkan arus lalu lintas di kompleks tersebut.
“Kami membantu pengaturan lalu lintasnya, agar lalu lintasnya lancar, karena jalannya sempit. Kami akan berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop) dan Polres Banyumas,” katanya, kemarin. Seperti diberitakan, tempat pemberhentian angkutan pedesaan (angkudes) dan angkutan kota (angkot) yang terletak di Jalan Jenderal Suprapto Purwokerto, diusulkan dipindah ke sekitar Pasar Sari Mulyo Kebondalem.
Kabid Pasar dan PKL Dinperindagkop, Amrin Ma’ruf, mengemukakan usulan itu sebagai salah satu upaya untuk menghidupkan Pasar Sari Mulyo yang akan dijadikan sebagai selter PKL. Menurut rencana seluruh PKL yang tergabung dalam Paguyuban Wira Niaga akan ditempatkan di Pasar Sari Mulyo. Sementara PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban akan ditempatkan di depan pasar dan lahan kosong di Jalan Moch Safe’i.
Masalah Angkot
Terkait dengan teknis rekayasa lalu lintas, lanjut Achmad Riyanto, belum dapat memastikannya. Pihaknya akan menggodok rencana itu bersama dinas terkait. Termasuk mengenai keberadaan terminal angkot di belakang Matahari.
“Dalam pertemuan sebelumnya belum disinggung masalah angkot. Nanti akan kami bahas lebih lanjut bagaimana penempatan angkotanya, karena settingnya (pentaan PKL) yang tahu dari Dinperindagkop, kami hanya membantu rekayasa lalu intasnya saja,” jelas dia. Pihaknya juga akan menyiapkan rambu-rambu lalu lintas.
Rambu-rambu akan dipasang di sekitar Pasar Sari Mulyo dan Jalan Moch Safe’i yang sebagian ruas jalannya akan digunakan untuk menampung PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban. 
berita sebelumnya..

Pemberhentian Angkudes dan Angkot Diusulkan Dipindah


Tempat pemberhentian angkutan pedesaan (angkudes) dan angkutan kota (angkot) yang terletak di Jalan Jenderal Suprapto Purwokerto, diusulkan dipindah ke sekitar Pasar Sari Mulyo Kebondalem.
Kabid Pasar dan PKL Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop) Banyumas, Amrin Ma’ruf, mengemukakan usulan itu sebagai salah satu upaya untuk menghidupkan Pasar Sari Mulyo yang akan dijadikan sebagai selter Pedagang Kaki Lima (PKL).
“Dalam forum lalu lintas kami mengusulkan agar angkudes dan angkot yang berada di Jalan Jenderal Suprapto di masukkan ke dalam (komplek Kebondalem), di depan Pasar Sari Mulyo, karena sebanarnya (angkudes dan angkota di Jalan Jenderal Suprapto) mengganggu lalu lintas,” katanya, Rabu (2/11).
Menurutnya penataan komplek Kebondalem tidak hanya dilakukan pihaknya saja, namun seluruh dinas terkait. Selain PKL, di komplek Kebondalem juga terdapat terminal angkot, tepatnya di belakang supermarket Matahari.
Seperti diketahui, seluruh PKL yang tergabung dalam Paguyuban Wira Niaga akan ditempatkan di Pasar Sari Mulyo. Sementara PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban akan ditempatkan di depan pasar dan lahan kosong di Jalan Moch Safe’i.

Selasa, 01 November 2016

Generasi Muda Diajak Berwirausaha Tahu

Quote suaramerdeka.com :

DUA perempuan dan semangat saat beradu cepat dengan dua lawannya menggunakan bakiak. Masing-masing peserta membawa tahu bulat menggunakan sumpit. Mereka setengah berlari agar cepat sampai ke garis finish untuk menyuapi tahu tersebut kepada teman satu tim.Permainan itu dilakukan dengan penuh canda dan tawa, meskipun diikuti oleh ibu-ibu dan bapak-bapak. Dalam permainan tradisional tersebut, masing-masing peserta baik yang kalah maupun menang mendapatkan doorprize dari panitia. “Saya iseng ikut saja meramaikan permainan ini.
Apalagi saya jarang sekali mengikuti permainan menggunakan bakiak,” tutur salah satu peserta permainan kakiak, Supri (46). Permainan tersebut merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Festival Kuliner dan Tahu 2016 yang digelar di halaman parkir Java Heritage Hotel Purwokerto, Minggu (30/10). Festival kuliner dan tahu yang diadakan oleh Pemerintah Desa Kalisari mengusung konsep acara pameran yang bertemakan kuliner dan budaya Banyumas.
Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Banyumas merupakan salah satu desa yang sangat potensial dalam pengembangan produksi ragam jenis tahu. Oleh karena itu, tujuan diadakannya kegiatan ini harapannya mampu menciptakan sebuah sistem pemasaran yang dapat meraih pasar modern, sehingga dapat memancing kreativitas kelompok tahu dalam menciptakan produk olahan tahu yang baru dan inovatif.
Kepala Desa Kalisari, Aziz Masruri mengatakan, festival tahu merupakan program revolusi mindset dari pemerintah desa, supaya warga dan angkatan muda di desanya bersedia berwirausaha di bidang tahu. Perlu diketahui di Desa Kalisari terdapat 283 industri rumah tangga tahu. Masing-masing industri rumah tangga tersebut mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3 sampai 4 keluarga.
Berarti apabila dijumlahkan, di Kalisari terdapat 700 keluarga yang berkecimpung dalam industri rumah tangga tahu. Sementara jumlah keluarga secara keseluruhan di desa itu mencapai 1.416. Kalau dipersentasikan, terdapat 45 persen keluarga yang memiliki mata pencaharian dari tahu. “Nah inilah salah satu program kami untuk mengubah mindset yang sudah dua tahun ini diadakan,” kata dia.
Dengan kegiatan ini, sambung dia, generasi muda atau para anak penjual tahu bersedia menjual tahu dengan metode berbeda dan melakukan diversifikasi produk tahu yang lebih banyak variannya. “Harapannya, kami tahu Kalisari dapat go international dengan pengemasan yang bagus,” katanya. Dia menceritakan, awal menjadi kepala desa pada 2013, jumlah industri tahu merosot menjadi 190 unit. Padahal pada 2004, terdapat 490 unit usaha tahu.
Penurunan jumlah usaha tersebut antara lain isu formalin, kenaikan harga kedelai dan kondisi ekonomi. “Dari sini saya terpacu untuk meningkatkan jumlah usaha tahu, mulai dari diskusi karnaval dan festival tahu. Sekarang Alhamdulillah, jumlah usaha tahu sudah mencapai 283 unit,” katanya. Adapun generasi muda yang sudah terjun dalam wirausaha tahu terdapat 20 orang.
Mereka menggunakan pola pemasaran lebih modern daripada perajin tahun angkatan tua, seperti memanfaatkan media internet sebagai pemasaran produknya. Di sisi lain, produk dengan bahan dasar tahu sudah mulai banyak variannya, seperti tahu bulan, kerupuk ampas tahu, tahu baso dan sushi tahu. “Kalau produk yang sudah ada sejak dulu adalah tahu kuning dan tahu goreng,” katanya.
Menginginkan BuktiMeskipun demikian, untuk menggerakkan wirausaha dari kalangan muda tidak mudah. Kendala yang dihadapi adalah para generasi muda menginginkan bukti sebelum mencoba beriwirausaha. “Makanya mereka dilibatkan dalam kegiatan ini. Kami juga bekerja sama dengan LPPM Unsoed dan UMP, Bank Indonesia Purwokerto, serta menganggarkan dana untuk pelatihan untuk pengemasan produk kepada generasi muda,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah desa tetap mendapingi kelompok usaha tahu. Saat ini, kelompok tahu yang berjumlah 70 anggota itu mulai memenuhi kedelai (bahan baku utama membuat tahu), serta kunyit dan garam bagi para anggotanya. “Memang kelompok belum mampu memenuhi semua industri perajin di Desa Kalisari, tapi kami berupaya memulai dari anggota kelompok dulu,” katanya.
Melalui upaya dan kegiatan ini, Aziz bersama dengan tim di pemerintah desa akan terus fokus untuk memberdayakan masyarakat desa melalui wirausaha tahu. Targetnya sampai dengan 2019, jumlah usaha tahu Kalisari jumlahnya kembali menjadi 490 unit seperti pada 2004. 

Entri yang Diunggulkan

Info Tentang Blog Banyumas Corner

saya mencoba mendeskripsikan sebuah ungkapan yang berasal dari bahasa populer saat ini yaitu ungkapan Menduniakan Banyumas dan Memb...