Liputan6.com, Banyumas - Di awal 1990-an, Saehudin tercenung mendapati ratusan bangkai ikan nila dan mas mengambang di kolam. Bau bangkai meruap, bercampur dengan busuknya limbah tahu yang mengalir di parit di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Dan bagi Saehudin, kematian ikan-ikannya itu bukan kali pertama terjadi. Saat debit air turun, dan parit dipenuhi limbah dari puluhan perajin tahu, ikan-ikan tak kuasa bertahan.
Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Sebab, ia sendiri adalah salah satu perajin tahu yang juga membuang limbah di parit itu.
Tak hanya Saehudin. Petani lainnya, Darsono, mengalami penurunan hasil panen padi.
Limbah tahu yang mengalir ke lahan pertanian menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah. Sawah asam dan kelebihan nitrogen. Akibatnya, bulir padi "njepluk" alias hampa.
Sejak 1970-an, Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dikenal sebagai salah satu penghasil tahu terbesar di Banyumas. Tahun demi tahun jumlah produksi meningkat. Hal ini berimbas pada tercemarnya air dan lingkungan mereka.
Semakin hari, jumlah perajin tahu bertambah banyak. Seperempat lebih keluarga di desa ini memang bertumpu pada produksi tahu. Limbah cair dan padat menjadi persoalan besar. Sungai-sungai nan jernih berubah menjadi keruh, lagi berbau busuk.
Tak pelak, bau busuk limbah tahu menyelinap hingga desa-desa tetangga. Sektor perikanan lumpuh. Begitu pula dengan pertanian yang hasilnya terus menurun.
1 dari 4 halaman
Pengolahan Limbah Tahu Secara Swadaya
Padahal, sebagian besar warga lain berprofesi sebagai petani dan pembudidaya ikan. Tentu, mereka terkena imbasnya. Ikan mati lantaran air sungai tercemar polutan cair tahu. Sawah tak terurus karena terlalu banyak kadar nitrogen larut dalam air. Hal ini menyebabkan sawah menjadi tak lagi subur.
Para pengrajin lantas tersadar, mereka harus berjuang untuk menyelesaikan masalah pencemaran ini. Pada 1992, warga secara swadaya membuat instalasi pengolahan limbah, semacam penampung kotoran atau septic tank untuk menampung limbah cair dan padat. Kemudian, limbah ini diubah menjadi biogas yang bisa digunakan untuk sumber energi pengganti minyak dan gas.
Tetapi, itu hanya sesaat. Septic tank yang dibuat ala kadarnya ini tak berusia panjang. Limbah kembali menjadi persoalan besar di desa ini. Mereka kembali bergulat dengan bebauan tak sedap, pencemaran air dan penurunan hasil panen ikan dan pertanian.
"Dibangunnya kan juga seadanya. Teknologi dan materialnya sederhana. Tidak bisa bertahan lama," tutur Kepala Desa Kalisari, Aziz Samsuri, beberapa waktu lalu.
Aziz pun mengakui, sudah sejak lama masyarakat ingin menanggulangi pencemaran lingkungan yang terjadi di Kalisari. Beruntung, pada tahun 2009 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguji coba Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) dengan teknologi baru.
Biogas Limbah Tahu untuk Memasak Ratusan Keluarga
Limbah cair, diubah menjadi gas metana. Gas metana itu kemudian disalurkan ke 260-an keluarga dengan pipa-pipa bawah tanah. Dari gas metana ini, para ibu bisa memasak. Mereka memperoleh sumber energi terbarukan dan murah.
Keseriusan masyarakat Kalisari dalam pengolahan limbah juga terbukti ketika Kementerian Riset dan Teknologi kembali memilih Desa Kalisari menjadi lokasi pembangunan instalasi IPAL Biogas Limbah Tahu (Biolita) pada 2012 dan 2014. Lima IPAL dibangun di wilayah ini.
"Kemudian Biolita yang nomor lima, adalah biolita swadaya. Ini satu-satunya biolita di Indonesia yang dibangun secara swadaya," dia mengklaim.
Seorang ibu rumah tangga, Riyanti mengakui biogas bisa menghemat pengeluaran bahan bakar gas untuk rumah tangga. Dalam sebulan, tiap keluarga hanya dibebani Rp 15 ribu per bulan. Sungguh ringan.
Ia bercerita, dalam sebulan biasanya menghabiskan tiga atau empat tabung elpiji. Namun, semenjak instalasi gas metana berfungsi, ia jadi bisa mengirit. Sebulan, Riyanti hanya butuh satu tabung gas isi tiga kilogram.
"Biasanya kan beli setiap minggu sekali, sekarang baru habis satu bulan, atau sehabisnya, Mas. Jadi bisa irit," ujar Riyanti dengan wajah semringah.
Tak hanya ibu rumah tangga yang senang, ternyata pengolahan limbah ini juga membuat girang petani ikan yang tadinya kerap merugi. Ikan-ikan mereka tak lagi mati. Pertanian pun pulih seperti sediakala.
Keramba Nila di Parit dan Wisata Edukasi
Lantas, banyak warga yang kemudian memanfaatkan parit yang tadinya kotor dan berbau untuk memelihara ikan dengan sistem keramba. "Yang di situ, dekat SD, di sungai ditaruh karamba, dikasih ikan, tiga bulan bisa panen. Ikannya sekarang nggak (terganggu), malah jadi cepat besar," ucap Saehudin.
Tak hanya itu, dari hasil iuran atau retribusi biogas, dilakukan pengembangan usaha kelompok. Berdirilah empat sektor usaha berbasis kelompok pengelola IPAL. Perikanan, perternakan, pertanian dan wisata menjadi fokus pengembangan usaha.
Kendati sudah menampakkan hasil, Aziz mengakui masalah pencemaran belum usai. Masih ada sebagian kecil perajin tahu skala rumah tangga yang limbahnya belum dikelola. Namun, dia yakin, dalam waktu tidak terlalu lama, dua ipal ini akan terbangun.
"Yang jelas kami sedang berupaya, yang pertama untuk menyelesaikan tahap akhir persoalan limbah itu, kita butuh dua lagi, insyaallah selesai semuanya," Aziz menjelaskan.
Aziz bahkan sudah berani bermimpi, Desa Kalisari bakal menjadi desa wisata edukasi pengelolaan limbah. Wisata ini akan terintegrasi dengan kuliner tahu, pemancingan ikan, dan alam nan permai di desa lereng selatan Gunung Slamet ini.
sumber Liputan enam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar