ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA?
Oleh Ahmad Tohari
Tentu tidak ada penumpang yang setuju kereta api malam dari timur itu
berhenti sesaat menjelang stasiun Pasar Senen. Tapi nyatanya kereta api
itu benar-benar berhenti. Entah ada apa di depan sana.
Penumpang
yang sudah bangun banyak yang mengeluh. Tiga laki-laki secara bersamaan
melihat jam tangan mereka dengan wajah kecut. Masinis di ruang kemudi
dan dua kondektur di gerbong paling depan mendesah kesal. Di mata mereka
sudah kelihatan kopi panas dalam salah satu ruang dinas di stasiun
Pasar Senen. Ada juga lelaki necis yang keluar dari kakus kereta sambil
menggenggam sikat gigi. Atau di sana, di bagian sudut, ada lelaki
berwajah saleh sedang shalat subuh sambil duduk. Dan yang paling banyak
suara adalah penumpang-penumpang perempuan yang membawa anak.
Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel.
Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak.
Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus
yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak
kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran
rongsok. Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang
meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di
dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain
melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu
tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah,
mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi.
Laki-laki itu bangkit, berjalan menyeberang menuju warung yang sepagi
itu sudah buka, bahkan sudah ada dua penjaga malam duduk menghadapi
gelas kopi mereka.
Di tangan kanan laki-laki itu ada sebungkus mi
instan. Di warung kopi seberang jalan, sudut bungkus mi disobek dengan
hati-hati sekadar untuk membuat lubang. Saset-saset bumbunya
dikeluarkan. Lalu disodorkan selembar uang ribuan kepada perempuan
warung yang segera mengambil termos dan membuka tutupnya. Keduanya
kelihatan akrab, saling bersikap manis, dan tampak telah biasa bekerja
sama. Maka perlahan dan sangat hati-hati air panas dari termos di tangan
perempuan warung mengalir dengan cermat ke dalam kantung plastik mi
instan lewat lubang sobekan di sudut. Cukup.
Kemudian dengan
gerak yang sudah terbiasa laki-laki itu menyobeki saset-saset bumbu
dengan gigi, mengucurkan bubuk bumbu melalui lubang sobekan, dan
berbalik melangkah menuju anak laki-laki kecil yang sedang menunggu
dekat tubuh emaknya. Sambil berjalan lelaki itu mengocok-kocok kantung
mi yang dijimpit dengan jemari tangan kanan.
Masih sambil
berjalan lelaki itu terus mengocok-kocok, lalu menggoyang-goyang kantung
plastik itu, tentu agar mi instan di dalamnya cepat melunak. Kemudian
jongkok dekat anak yang terus menatap kantung mi itu. Istrinya atau
apanya masih tidur. Rasanya laki-laki itu sadar di hadapannya ada
sepasang mata bocah yang terus menatap dengan sepenuh harap. Mata anak
yang masih sejati itu bergulir-gulir mengikuti gerak ayunan tangan
ayahnya yang menjimpit kantung mi istan. Roman muka bocah itu mulai
menunjukkan ketidaksabaran. Dia seperti sudah lama menahan rasa lapar.
Bibir bocahnya yang masih begitu sejati juga bergerak-gerak menuruti
ayunan kantong mi yang terus digoyang oleh ayahnya. Kadang lidahnya agak
terjulur dan liurnya menitik di sudut mulut. Anak ini sudah belasan
kali menelan-nelan ludah.
Kantung mi berhenti berayun-ayun. Mata
anak itu menyala. Bibirnya bergerak-gerak seakan siap menerima makanan.
Jakunnya turun-naik. Dan ayah itu memindahkan kantung mi dari tangan
kanan ke tangan kiri. Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan kanan
menyatu dan masuk ke lubang sobekan di sudut kantung mi dengan
hati-hati. Ketika ditarik keluar, telunjuk dan ibu jari tangan kanan
laki-laki itu sudah menjepit dua sulur mi yang masih mengepulkan uap.
Kedua mata si anak menyala. Tetapi si ayah tidak segera memasukkan ujung
sulur mi itu ke mulut anaknya yang sudah terbuka. Malah
mengayun-ayunkan lagi di udara.
”Pa!” seru si anak kepada
ayahnya. Dia kelihatan sudah tidak sabar. Matanya lekat pada sulur-sulur
mi yang menggantung di tangan ayahnya.
”Tahan, ini masih panas. Mulutmu bisa melepuh.”
”Pa!” anak itu menepuk-nepuk pahanya sendiri dengan kedua telapak
tangan untuk melampiaskan rasa tidak sabar. Air matanya mulai meleleh di
kedua pipinya yang masih sejati itu. Ada anak usia lima tahunan
menangis di hadapan ayunan sulur mi instan yang sudah lunak.
”Pa, lapar, lapar!”
”Bapa bilang, tunggu. Ini masih panas.” Kata si ayah. Dia berhenti
mengayun-ayun sulur mi itu, ganti meniup-niup dengan mulutnya yang
monyong. Anaknya terisak tetapi entahlah, dia bangkit berdiri. Berbalik
dan menyingkap celana sendiri di bagian paha. Anak usia lima tahunan itu
kencing.
”Hus! Jangan kencing di situ. Nanti kena punggung
emakmu.” Tegur si ayah. Anak itu mengejan, mengekang kemaluannya dan
kencingnya berhenti mengucur; memutar badan sembilan puluh derajat,
kemudian cairan kekuningan mengucur lagi dari kemaluan yang masih
sejati.
”Nah begitu, kamu tidak boleh kencing dekat punggung
emakmu. Ayo, mi ini sudah agak dingin,” kata si ayah. Kini laki-laki itu
menggerak-gerakkan tangan kanan yang menjepit tiga sulur mi tidak
mengayun, tetapi naik turun. Anaknya jongkok dengan wajah agak
menengadah, mulutnya terbuka, matanya setengah terpejam. Si ayah dengan
hati-hati menjatuhkan ujung sulur mi ke dalam mulut anaknya. Mulut
mungil yang masih sejati itu cepat mengatup; telunjuk dan ibu jari
tangan kanan si ayah melepaskan jepitan; ujung lain sulur mi terkulai ke
bawah dagu kecil. Tetapi semuanya cepat melesat naik. Ada bunyi
’slulup’ ketika sulur mi terhisap oleh sedotan kuat mulut yang masih
sejati tapi amat lapar. Anak laki-laki itu hampir tersedak.
”Sabarlah! Enak?”
”Enak sekali.”
”Ya. Ayo, buka lagi mulutmu,” perintah si ayah setelah jemarinya
menjepit lagi beberapa sulur mi yang tidak lagi mengepulkan uap. Seperti
suapan yang pertama, sulur mi itu segera tersedot dan menghilang dengan
bunyi slulup ke dalam mulut si bocah. Rona nikmat dan puas muncul di
wajah anak usia lima tahunan itu.
”Pa, aku seperti anak yang di TV-nya ibu warung kopi, kan?”
”Di TV, bagaimana?”
”Iya, Pa. Di TV juga ada anak nyedot mi, kan? Anaknya cakep. Bajunya
bagus banget. Rumahnya bagus banget. Jadi sekarang aku sama seperti anak
yang makan mi di TV kan ?” tanya anak usia lima tahunan itu dengan
roman muka yang sejati. Sejenak si ayah kelihatan terpana. Namun sesaat
kemudian tawanya meledak. Tubuhnya terguncang. Kuah mi instan sampai
muncrat dari lubang kantung plastik yang sedang dipegang dengan tangan
kirinya.
”Kenapa Bapa tertawa?”
”Ah, tidak apa-apa. Tapi kamu lebih hebat dari anak yang makan mi di TV itu.”
”Aku lebih hebat?”
”Ya, karena kamu sudah bisa kencing agak jauh dari punggung emakmu. Hebat kan? Ayo makan lagi, bapa akan terus suapi kamu.”
”Tapi aku ingin minum kuahnya juga, Pa.”
”Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula kamu jangan serakah. Kuah mi selalu buat emak. Dia suka sekali.”
”Tapi dia masih tidur.”
”Nanti kan bangun. Ayo buka mulut lagi,” perintah si ayah. Anak kecil itu tidak memberikan tanggapan.
”Emak memang suka ngenyot-enyot kuah mi dari kantung plastik ya Pa?”
”Iya, emakmu memang suka begitu.”
”Bapa suka melihat Emak ngenyot-enyot kuah mi dari kantung plastik?”
”Kamu usil.”
”Suka ya, Pa?”
”Ya, suka.”
”Kenapa suka?” Anak itu sungguh-sungguh bertanya. Kedua matanya
mengatakan itu. Si ayah kelihatan malas menanggapi, tapi kemudian
laki-laki itu bersuara juga.
”Ah, ketika ngenyot-enyot kuah mi dari kantung plastik, emakmu kelihatan menyenangkan, seperti masih anak-anak.”
Mata anak lelaki itu membulat. Ada kesan dia sedang berfikir dengan otak bocahnya yang tentu masih amat sejati.
”Hore, Bapa hebat. Bapa suka melihat emak ngenyot kuah mi dari kantung plastik.”
”Hus!”
”Tapi iya kan? Bapa juga suka melihat emak kayak anak-anak, iya kan?”
Mata anak itu lekat ke wajah ayahnya, menunggu tanggapan. Sepi. Hanya
terdengar kerocak bunyi kuah mi instan dalam kantung plastik yang
dikocok-kocok lagi. Perempuan itu menggeliat lalu duduk dan bertopang
tangan kiri. Pagi sudah terang. Sosok perempuan itu menjadi lebih jelas.
Usianya mungkin empat puluhan. Gincu dan bedak pipinya memang tebal.
Atau lebih tebal di awal malam ketika dia mulai berjualan. Dan kehidupan
yang amat berdebu dan jauh dari air membuat perempuan itu sewarna
dengan sekelilingnya yang juga penuh debu.
”Nah, emak bangun. Emak suka ngenyot-enyot kuah mi dari kantung plastik, kan?”
Tidak ada tanggapan. Apalagi si ayah telah mendahului mengulurkan
dengan tangan kanan kantung mi kepada istri atau apanya yang baru
bangun. Dan ternyata semua benar; perempuan itu kelihatan sangat lahap
ngenyot kuah mi instan langsung dari kantung plastik. Ada sepasang mata
bocah yang begitu bening dan sejati menatap gerak mulut dan pipi emaknya
yang sedang ngenyot-enyot. Lalu mata bening itu berpindah menatap wajah
ayahnya. Tatapan sejati itu ingin menguji apa benar si ayah suka
melihat istri atau apanya ketika perempuan itu sedang ngenyot-enyot
kantung plastik seperti seorang bocah. Ternyata juga benar adanya. Mata
anak lelaki usia lima tahunan itu menyala, pipinya menyala, dan kedua
bibir sejatinya merekah. Dia tertawa karena melihat wajah ayahnya
menjadi wajah seorang yang sedang bersuka.
”Ayah memang hebat,”
teriak anak itu sambil bertepuk tangan. ”Ayah benar-benar suka melihat
emak sedang ngenyot kuah dari kantung plastik. Seperti anak kecil ya?
Hore!”
Si ayah bergeming, tidak mengubah arah pandangan bahkan
tidak juga mengedipkan mata. Lelaki itu memandang penuh ke arah istri
atau apanya yang kini duduk setengah menengadah, mulutnya tersambung
dengan sempurna dengan lubang sobekan pada sudut kantung mi instan yang
ada di atas wajahnya. Perempuan yang baru bangun dan masih bersolek
tebal itu berusaha ngenyot kuah hingga tetes terakhir. Ada suara
kecup-kecup, juga decap-decap ketika perempuan itu mencecap endapan
bumbu kimia yang mengental dalam tetes-tetes terakhir kuah mi. Lalu
telapak tangan kanannya menyentil-nyentil kantung plastik yang sedang
dienyotnya agar remah mi yang tersisa bisa tanggal dan jatuh ke
mulutnya.
Kantung plastik sudah sempurna kosong, dilemparkan oleh
perempuan bersolek tebal itu ke samping dengan sikap tak peduli.
Kantung itu menyangkut di ranting semak yang meranggas dan berdebu.
Senyum perempuan itu membuat mulutnya seperti bagian dari sebuah topeng.
Tapi dia sungguh kelihatan puas. Ada anjing kuning belang putih
melintas. Tepat di kaki tonggak besi penyangga lampu sinyal binatang itu
berhenti. Dia membuat gerakan sangat anggun; mengangkat kaki belakang
yang kiri, pinggul dimiringkan, lalu kencing membasahi tonggak besi itu.
Anak laki-laki usia lima tahunan memandangi ulah anjing itu dan
tersihir. Maka anak laki-laki itu menyingkap celananya di bagian pangkal
paha mau kencing juga. Tetapi dia mendadak tertegun oleh suara keras
ayahnya.
”Jangan kencing di situ! Nanti kena buntalan pakaian
emakmu. Tadi kamu hampir kencing dekat punggung, sekarang mau kencing
dekat buntalan pakaian.”
Anak itu mengembalikan letak celananya.
Dia memang tidak terdesak untuk segera kencing, tapi hanya tersihir oleh
ulah anjing yang tadi kencing di sana.
”Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh di mana, Pa?”
Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakkan wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
”Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di
Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir,
di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan.
Dengar itu?”
Mata anak lelaki usia lima tahunan itu membulat.
Bingung, karena dia tidak tahu di mana tempat-tempat yang tadi disebut
ayahnya. Sejenak lengang. Si ayah menunggu; si emak tertawa-tawa. Dan
tiba-tiba terdengar suara lelaki terbatuk dari arah belakang. Serentak
ketiga warga pinggir rel itu menoleh ke belakang. Dan terpana. Di sana,
pintu terdekat kereta api sudah terbuka. Atau sudah lama terbuka. Ada
satu kondektur dan satu penumpang berdiri tegak. Mereka berasa sedang
menonton pentas dari alam yang berbeda. Kemudian kedua laki-laki itu
merapat ke sisi-sisi yang berlawanan untuk memberi jalan kepada orang
ketiga yang ingin muncul. Orang ketiga adalah gadis pramusaji yang
cantik seperti pramugari. Di tangannya ada kantung warna hitam, tentu
berisi sampah sisa makanan. Kantung itu dilempar ke bawah dan jatuh
empat meter di hadapan tiga warga pinggir rel. Nasi sisa, tulang-tulang
ayam goreng, ada juga paha ayam goreng yang masih utuh, potongan daging
bakar, berserakan di pelataran batu koral.
Siapa yang tahu maksud
si pembuang sampah makanan dari restoran kereta api? Apakah sisa
makanan itu dilempar dan ditujukan kepada tiga warga pinggir rel?
Mahasuci Tuhan Yang Mahatahu. Mata anak laki-laki usia lima tahun itu
menyala dan membulat ketika melihat ada paha ayam goreng tergeletak di
antara serakan sisa makan. Dan anjing yang tadi kencing di dekat lampu
sinyal ternyata bergerak lebih cepat. Si anak tertahan. Apalagi si ayah
menekan pundak anaknya agar tidak melangkah.
Terasa ada semacam
ketegangan. Anak laki-laki warga pinggir rel itu merasa tangan ayahnya
dingin dan sedikit gemetar. Maka siapa yang tahu si ayah itu merasa
cemas karena telah mengatakan anaknya boleh kencing di mana pun di
Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya? Apakah kata-kata tadi
didengar juga oleh mereka yang sedang berdiri di pintu kereta api?
”Mari kita pergi,” kata si ayah kepada anak dan istri atau apanya. ”Di sini kita malah jadi tontonan.”
Dalam satu menit ketiga warga pinggir rel itu berkemas. Si ayah
mengambil satu kotak kardus kecil dari bawah semak berdebu yang
meranggas. Si istri atau apa menyambar buntalan pakaian, dan si anak
laki-laki usia lima tahunan mengambil harta kesayangannya berupa bekas
antena kanopi radio. Kemudian ketiganya bergerak melawan arah datangnya
kereta api. Setelah agak jauh di sana mereka tertawa-tawa.
”Tadi
selagi saya masih tidur kalian bicara apa? Anak ini mau mengencingi
Jakarta?” tanya si perempuan. Si ayah dan si anak berpandangan,
tersenyum lalu tertawa lebih lepas. Benar, tiga warga pinggir rel itu
menikmati hidup yang gembira dan merdeka.
Sumber: harian Kompas edisi 13 September 2015, halaman 27 dengan judul "Anak ini Mau mengencingi Jakarta?".